
Monumen setinggi orang dewasa itu berdiri kokoh di Desa Jipang, Kecamatan Karanglewas, sekitar lima kilometer dari pusat kota Purwokerto. Di dindingnya tertulis nama-nama deklarator PDI Pro-Mega Banyumas. Diresmikan pada tahun 2012, monumen ini dibangun di depan sebuah rumah tempat berlangsungnya deklarasi PDI Pro-Mega pada 2 Juli 1996.
Banyumas termasuk wilayah paling awal membentuk kepengurusan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Pro-Mega, bahkan sebelum kepengurusan di level Jawa Tengah terbentuk. “Jadi dulu DPC di sini dulu yang terbentuk, setelah itu baru DPD (Dewan Pengurus Daerah),”cerita Bambang Hariyanto Baharudin yang namanya tertera dalam monumen sebagai ketua Deklarator PDI Pro-Mega Banyumas.

Deklarasi berdirinya PDI Pro-Mega di Banyumas itu merupakan tindak lanjut dari Perintah Harian Ketua Umum PDI hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Surabaya 1993 Ibu Megawati Soekarnoputri, pada 22 Juni 1996, agar ada penataan kembali DPC dan DPD yang Pro kepengurusannya.
Maklum saja, pemerintah yang sejak awal menjegal Ibu Megawati sebagai ketua umum PDI, saat itu sedang getol memecah belah kepengurusan PDI hingga ke tingkat daerah. Puncaknya adalah penyelenggaraan Kongres Medan pada Juni 1996 yang menjadikan Soerjadi sebagai ketua umum PDI untuk menjegal Ibu Megawati.

Selain Banyumas, di Jawa Tengah juga berdiri PDI Pro-Mega di kabupaten-kabupaten dan Kota untuk menindaklanjuti Perintah Harian Ketua Umum Ibu Megawati Soekarnoputri.
“Setelah kita mengukuhkan struktur DPC Pro-Mega, kita buat gugatan hukum, itu tak cuma DPC di Jawa Tengah bahkan di seluruh Indonesia membuat gugatan hukum,” ungkap Bambang Harianto yang saat ini menjabat Wakil Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPD PDI Perjuangan Jateng. Gugatan hukum dilayangkan untuk menggugat keabsahan Kongres (Boneka) Medan kubu PDI Soerjadi.
Tanpa memikirkan menang atau kalah, proses persidangan menjadi ajang konsolidasi massa pro Mega. “Jadi setiap persidangan kita gerudugi pengadilan. Kita jadikan itu arena unjuk gigi bahwa kita punya massa yang banyak,” kenang Bambang yang saat ini juga menjabat Sekretaris F-PDI Perjuangan DPRD Jawa Tengah.
Berbeda dengan pembentukan PDI Pro Mega di tingkat cabang yang relatif cepat, pembentukan PDI Pro-Mega di tingkat DPD Jateng cukup ruwet. Sebab pimpinan DPD saat itu malah mengikuti kongres kubu Soerjadi di Medan. “Pembentukan di DPD itu punya drama tersendiri juga. Jadi kita bikin isu akan di Solo, sehingga aparat keamanan diterjunkan di Solo semua, padahal dilaksanakan di Semarang, di rumahnya William Tutuarima,” kenang Bambang.
Wakil Ketua Bidang Politik Hukum dan Keamanan DPD PDI Perjuangan Jateng Bona Ventura mengisahkan rumah William Tutuarima di Jalan Kyai Saleh, Semarang, menjadi kantor DPD PDI Pro Mega Jawa Tengah karena Panti Marhaen saat itu dikuasai kubu Soerjadi. “Tapi akhirnya bisa kita rebut lagi. sampai ada bakar-bakaran itu ketika kita merebut Panti Marhaen dari kubu Soerjadi,”ungkap Bona Ventura.

Akibat pengawasan ketat dari aparat pemerintah, PDI Pro-Mega menjalankan aktivitasnya secara kucing-kucingan. Konsolidasi dilakukan dengan berbagai cara meski seringkali dibubarkan oleh aparat keamanan. Bambang Haryanto bercerita, konsolidasi Bu Mega di daerah-daerah disiasati dengan acara kondangan. “Konsolidasi di Banyumas, ke salah satu tokoh PDI di Banyumas lewat acara sunatan. Ada acara ruwatan, Bu Mega datang,” ungkapnya.
PDI Pro-Mega Jawa Tengah tak lupa bertugas menjaga kantor pusat DPP PDI di jalan Diponegoro, Jakarta, sebelum diserbu kelompok pro-Soerjadi pada peristiwa 27 Juli 1996. Wakil ketua DPC PDI Perjuangan Sukoharjo Sriyanto berkisah saat itu sebagai kader Pro-mega, ia turut dalam piket di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro 58, karena ada isu akan diserbu pendukung Soerjadi. “Saya jual satu ekor kambing Rp75.000 , untuk biaya perjalanan ke Jakarta,” ungkapnya.
Saat terjadi penyerbuan terhadap kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996, kader-kader Pro-Mega Jawa Tengah sedang dalam perjalanan pulang ke daerah setelah bertugas piket itu. Seratus lebih pendukung Ibu Megawati gugur akibat diserbu kelompok pro Soerjadi.
Represi aparat keamanan yang ketat tak menghalangi massa Pro-Mega Jawa Tengah beraksi mengecam peristiwa itu. Di Semarang, Posko Empati didirikan sebagai embrio Posko Gotong Royong. Posko keprihatinan atas peristiwa 27 Juli itu berdiri di rumah William Tutuarima dan Suratal HW yang di belakang hari menjadi ketua DPD PDI Perjuangan Jateng. “Sekali tempo turun ke jalan, demo di gubernuran menyampaikan aspirasi pada waktu itu, sampai berusaha menurunkan bendera merah putih sebagai bentuk kepedulian kita terhadap situasi kok terjadi Kudatuli,” ungkap Bona Ventura.

Menggembosi Kubu Soerjadi
Kesolidan PDI Pro-Mega Jawa Tengah makin terbukti menjelang Pemilu 1997. Sesuai perintah Ketua Umum Ibu Megawati, PDI Pro Mega menyatakan Golput. Kampanye Golput dilakukan secara intens. “Ya kita mencetak kaos Golput kita sebarkan. kita cetak sendiri agar orang-orang Golput. Ora Ega Ora Obos! Ora Ega Ora Obos!”ujar Bona Ventura. Selain itu, spanduk-spanduk berbunyi: “PDI Pro Mega tidak ikut Pemilu 1997’, dipasang di sudut-sudut jalan di Jateng.
Selain kampanye Golput, Pro-Mega Jawa Tengah selalu menghambat proses konsolidasi kubu Soerjadi, termasuk saat kampanye Pemilu 1997. “Kalau ada Soerjadi mau masuk ke Jawa Tengah itu kita kejar dan kita usir. Soerjadi ada di Kebumen kita usir, di mana pun kita usir,” kenang Bambang Baharudin.
Anggota Fraksi PDI Perjuangan Sukoharjo, Sriyanto, mengisahkan dirinya pernah menghadang rombongan Soerjadi yang sedang dalam perjalanan menuju Wonogiri. “Suasananya seperti mau perang,” kenang Sriyanto. Saat itu, ia dan kader PDI Pro-Mega lain dikejar-kejar tentara, bahkan ada yang ditangkap dan dipenjara. Sriyanto mengaku sempat dipukuli tentara gara-gara menghadang rombongan Soerjadi. Akibat penggembosan oleh kelompok Pro Mega, suara PDI Soerjadi jeblok di Pemilu 1997.
Puncak dari soliditas massa Pro Mega Jawa Tengah adalah saat Kongres I PDI Pro-Mega di Bali yang melahirkan PDI Perjuangan. Ribuan orang pendukung Ibu Megawati dari Jawa Tengah membanjiri arena kongres. Mereka berangkat ke Bali menempuh perjalanan darat dengan konvoi kendaran bermotor. Massa sambung menyambung di tiap kota dan kabupaten. “Orang mau berangkat ke Bali itu menjual apapun. Suatu saat di pasar burung, saya ketemu almarhum Mas Juli dia sedang menjual burung beonya. Ko ngadol beo badhe nganggo nopo Pak? Mas Juli menjawab: ajeng mangkat kongres Mas. Loh nopo, kulonipun mboten nopo-nopo. Kulo kepengin teko mriko mawon.” Kenang Bona Ventura.
LAPORAN: FITO AHMAD ERLANGGA, SOEMARNO
DAN SOFARUDIN (SUKOHARJO)