Menurut Soekarno, sebuah bangsa akan menjadi bangsa yang besar jika memiliki Trisakti: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Lalu bagaimana viabilitas dari Trisakti dewasa ini?
Dari sisi politik, entitas politik kita masih kental dengan nilai-nilai nir- produktif yang berbahaya bagi kontiniutas demokrasi misalnya eksistensi politik uang, klientisme, hingga menguatnya politik identitas. Dari sisi ekonomi, kemiskinan dan kesenjangan sosial masih menjadi masalah laten walaupun ada restorasi perbaikan yang inklusif (pemerataan pembangunan di era Jokowi). Menurut data BPS pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin Indonesia sebesar 9,78 persen atau sebesar 26,42 juta jiwa. Dari sisi kultural, memudarnya budaya dan kepribadian bangsa menyebabkan bangsa Indonesia seakan kehilangan roh sebagai bangsa yang kental dengan spirit dan karakter budaya adiluhung. Kepribadian dan budaya bangsa sendiri terkonstruksi dalam nilai-nilai dasar Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, keadilan sosial).
Ada tiga problematika aktual sebagai konsekuensi logis dari rendahnya penghayatan terhadap kepribadian dan kebudayaan bangsa (rendahnya penghayatan terhadap Pancasila). Pertama, budaya korupsi. Pasca reformasi, penguatan kelembagaan dan susbtansi hukum terkait pemberantasan korupsi di Indonesia terus dibangun, misalnya pembentukan UU Tipikor, pengadilan tipikor, hingga KPK, namun nampaknya belum menghasilkan dampak yang signifikan. Korupsi justru semakin kompleks baik secara vertikal maupun horizontal. Berdasarkan data ICW, sepanjang semester I tahun 2020 (1 Januari hingga 30 Juni 2020) terdapat 169 kasus korupsi di Indonesia yang disidik oleh penegak hukum, tersangka yang ditetapkan sejumlah 372 orang, dengan total kerugian negara mencapai Rp 18,1 triliun rupiah. Yang mencengangkan, 44 dari 169 kasus korupsi tersebut terjadi pada sektor anggaran dana desa. Budaya korupsi sendiri merupakan bentuk pengkhianatan terhadap sila pertama, kedua, dan kelima dari Pancasila.
Kedua, rendahnya sopan santun. Menurut survei terbaru dari Digital Civility Index (DCI). Indonesia menduduki peringkat ke-29 dari 32 negara terkait tingkat kesopanan digital global. Ruang digital (medsos) tak bisa dipungkiri memang menjadi sarana spread bagi tumbuhnya budaya-budaya negatif misalnya caci maki, fitnah, penghinaan, hingga kebencian SARA. Realitas tersebut menjadi fakta sosial bahwa masyarakat Indonesia dewasa ini semakin jauh dari penghayatan terhadap kepribadian banga yang secara akar historis penuh dengan nilai-nilai adiluhung sebagai cerminan dari karakter dan spirit Pancasila.
Ketiga, menjamurnya Eksklusifitas. Menjamurnya ekslusifitas khususnya yang berafiliasi dengan entitas agama merupakan problematika aktual yang berderivasi terhadap eksistensi politik identitas maupun dalam tahap yang ekstrem menjadi pemicu tumbuhya radikalisme, ekstrimisme, hingga terorisme yang secara eksplisit merupakan penyimpangan terhadap semangat persatuan Indonesia. Menjamurnya eksklusifitas akan menggerogoti nilai fundamental bangsa yakni gotong royong dan toleransi.
Dalam tahap yang lebih kompleks, rendahnya penghayatan terhadap kepribadian dan kebudayaan bangsa akan berimplikasi pada terjadinya defisit modal sosial dalam rangka mewujudkan kemerdekaan ekonomi (kesejahteraan rakyat) dan kemerdekaan politik (demokrasi yang sehat). Artinya, selama penghayatan terhadap Pancasila sebagai kepribadian dan kebudayaan bangsa rendah, maka kesejahteraan rakyat dan demokrasi yang sehat akan jauh panggang dari api.
Secara alamiah, bangsa Indonesia adalah bangsa multikultural yang memiliki beragam dimensi perbedaan. Namun bangsa Indonesia memiliki sebuah monumental prismatik yang menjadi titik temu, titik tumpu, dan titik tuju bernama Pancasila, yang digali berdasarkan akar kepribadian dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, reaktualisasi terhadap Pancasila sebagai nilai kepribadian dan budaya bangsa harus terus dilakukan secara kontinu untuk membangun Indonesia yang lebih beradab. Ada dua hal penting.
Pertama, menjadikan Pancasila sebagai ‘agama’ publik. Artinya adalah mentransformasikan nilai-nilai Pancasila sebagai norma utama dalam relasi publik. Pancasila harus mengejawantah secara real sebagai nilai kepercayaan, nilai kesusilaan, dan nilai instrumental dalam ruang publik. Agar Pancasila dapat menjadi ‘agama’ publik, maka diperlukan penguatan tata nilai melalui inspirasi kepemimpinan dan suri tauladan dari sekup terendah (keluarga) hingga tertinggi (pemerintah pusat), penguatan tata kelola melalui pelembagaan dan strategi internalisasi Pancasila secara formal misalnya melalui akomodasi dalam kurikulum khusus pendidikan, serta penguatan tata instrumen melalui praksis sosialisasi dan pembudayaan Pancasila secara masif dan sistematik.
Kedua, penguatan nilai-nilai sosio-kultural daerah yang merupakan saripati Pancasila. Indonesia terdiri atas berbagai daerah dan bermacam suku yang memiliki nilai-nilai sosio-kultural yang khas dan kental dengan nilai-nilai filosofis dan kearifan hidup yang tinggi sebagai bagian dari identitas yang berpengaruh dalam membentuk karakter, keyakinan, dan orientasi sikap. Misalnya falsafah siri’ na pacce (malu dan harga diri) di Sulawesi Selatan, falsafah urip kudu urup (hidup harus memberi manfaat) di Jawa Tengah, hingga falsafah ain ni ain (persaudaraan) pada masyarakat Maluku. Nilai-nilai sosio-kultural khas dari masing-masing daerah di Indonesia harus terus diperkuat dalam rangka memperkuat penghayatan terhadap kepribadian dan kebudayaan bangsa. Ada 3 hal yang harus diperhatikan yakni kesadaran lokal secara kolektif, perhatian dan akomodasi nasional, serta instrumen legacy guna membangun ekosistem sosial yang ramah terhadap internalisasi dan ekspresi nilai-nilai sosio kultural daerah.
Penulis: Pradikta Andi Alvat