Dari masa ke masa, manusia selalu memiliki dimensi perlawanannya sendiri-sendiri. Jauh sebelum nasion Indonesia berdiri, Pangeran Diponegoro pernah dengan teguh mengupayakan melawan kolonial Belanda secara terbuka, mengusir para kompeni itu angkat kaki dari tanah Nusantara. Pada masa berbeda, tepatnya menjelang milenium kedua, mahasiswa berontak melawan kekuasaan otoriter Orde Baru.
Dua contoh perlawanan itu menghantarkan kita pada satu pemahaman: ketika satu perlawanan padam, perlawanan lain justru baru mulai menyala. Tetapi perlawanan yang sebenarnya adalah melawan lupa—perlawanan yang tak pernah mengenal padam. Kalimat ini saya kutip dengan sedikit modifikasi dari ucapan seorang tokoh rekaan dalam novel Kitab Lupa dan Gelak Tawa besutan Milan Kundera. Di atas segala bentuk perlawanan, melawan lupa adalah mutlak: bagi sebuah bangsa, bagi sebuah negara, bagi seorang manusia. Lupa itu manusiawi, tetapi mengupayakan agar manusia tak lupa adalah juga sebuah tugas bersama. Dan untuk menegaskan betapa pentingnya kita sebagai manusia maupun bangsa untuk terus mengingat, dan tak kalah oleh lupa, saya unggah di sini kisah tentang lupa.
Tak perlu jauh-jauh, informasi tentang tempat lahir presiden pertama Republik Indonesia Soekarno alias Bung Karno pernah dibuat samar. Kejadian ini bermula dari adanya perbedaan keterangan di beberapa sumber. Bung Karno lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901 di Surabaya. Persoalannya, ada sumber-sumber yang menyebut Bung Karno justru lahir di Blitar. Tak tanggung-tanggung, kerancuan itu juga sampai merembet ke buku-buku akademik.
Ada setidaknya dua buku yang berhasil saya temukan. Pertama, buku yang berjudul Sejarah Lengkap Indonesia, (Adi Sudirman, 2014). Kedua, Cinta Pahlawan Nasional Indonesia: Mengenal dan Meneladani (Pranadipa Mahawira, 2013). Di kedua buku itu rupanya masih mencantumkan Bung Karno “Lahir di Blitar, Jawa Timur tahun 1901.”
Mengapa pencantuman sumber informasi itu bisa sampai keliru? Apakah masyarakat kita lupa, atau ada pihak yang ingin kita lupa pada Bung Karno? Untuk sampai pada titik terang tersebut, mari sejenak kita tengok terlebih dahulu beberapa data dan informasi seputar kelahiran Bung Karno yang sebenarnya.
Pencarian informasi bisa dimulai dengan membaca otobiografi Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia karya Cindy Adams. Dengan mewawancarai secara langsung, buku tersebut bisa jadi referensi utama. “Bersamaan dengan kelahiranku menjingsinglah fadjar dari suatu hari jang baru…aku dilahirkan ditahun 1901…Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal enam bulan enam” di “Surabaja, disanalah putera sang fadjar dilahirkan,” terang Bung Karno tegas.
Pada tahun yang sama pula terbit biografi berjudul Bung Karno Putera Fadjar garapan Solichin Salam. Biografi ini memuat keterangan: “Didaerah jang subur serta dikota pahlawan jang masjhur itu—Surabaja—pada hari Kemis Pon tanggal 18 Sapar tahun 1831 windu sandjaja, wuku “Wajang”, bertepatan dengan tanggal; 6 Djuni 1901 dikala fadjar menjingsing di Lawang Seketeng lahirlah putera (Soekarno) dari kandungan Ibu Idayu Njoman Rai,” tulis Solichin.
Dengan adanya dua bukti perihal informasi kelahiran Bung Karno tersebut, sudah sepantasnya tak ada kekeliruan data pada kemudian hari. Lalu, kenapa masih terjadi kesalahan? Sejarawan Asvi Marwan Adam menyebut, selepas Bung Karno lengser dan Soeharto berhasil melenggang sebagai presiden, muncul adanya upaya penyelewengan sejarah, terutama berkait ketokohan Bung Karno.
Tujuannya tentu untuk mereduksi peran Bung Karno dalam arena sejarah kemerdekaan Indonesia. Dengan perkataan lain: membuat bangsa kita sekarang lupa pada Bung Karno. Semasa Orde Baru, buku karya (dan terkait) Bung Karno sempat dicap sebagai bacaan terlarang. Siasat menjauhkan Bung Karno dari ingatan publik dimulai sejak ia sakit sampai kemudia meninggal.
Untuk pemilihan tempat makam, misalnya, Bung Karno pernah berwasiat, “Aku sangat mengingini untuk bernaung dibawah pohon jang rindang, dikelilingi oleh alam sekitar jang indah, disamping itu sebuah sungai dengan udara segar dan pemandangan jang bagus. Aku ingin beristirahat diantara bukit jang berombak-ombak dalam ketenangan.”
Di manakah sebetulnya Bung Karno ingin dimakamkan? Berdasarkan pengisahan Hardi, murid sekaligus kolega Bung Karno, tempat yang dimaksud tersebut ialah Batu tulis, Bogor. Namun pada kenyataannya, antara wasiat dan kenyataan terjadi silang kepentingan. Pemerintah saat itu, yaitu Orde Baru di bawah Soeharto justru menginginkan pemakaman Bung Karno dilangsungkan di Blitar, dengan alasan dekat dengan makam sang ibu, Idayu.
Secuil kisah Bung Karno di atas seeloknya lah bisa kita petik hikmah: Tak akan ada Indonesia di masa depan tanpa adanya kesadaran untuk terus menempatkan sejarah sebagai salah satu sisi kerangka berpikir kita: memandang masa depan dengan menjadikan sejarah sebagai pondasi. Dengan menjadikan kesadaran atas sejarah sebagai pondasi, kita telah dengan jujur mengakui kesalahan di masa lalu, dan memperbaikinya di masa depan. Ini tak hanya penting, tapi juga mendesak. Di zaman yang serba kilat, teknologi kian melenakan manusia pada bias pengetahuan, sejarah menjadi tak hanya penting, tetapi harus dipahami dan dimaknai secara menyeluruh, guna melihat Indonesia ke depan secara jujur, adil, dan bebas dari prasangka.
Penulis: Widyanuari Eko Putra