Bung Karno dan Kekuatan Pers untuk Kemerdekaan

4
Bung Karno
Foto: Ilustrasi Bung Karno Berjumpa dengan Tokoh Pers Nasional

Kabupaten Temanggung – Selain dikenal sebagai tokoh kharismatik yang memiliki pengaruh politik sangat besar, Sang Proklamator, Bung Karno sejatinya merupakan sosok yang sangat dekat dengan dunia pers dan jurnalistik.

Putra dari Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai itu bahkan sudah menggeluti dunia pers sejak usianya masih remaja. Bung Karno tercatat pernah menulis sebuah karya jurnalistik di sebuah koran milik Tjokroaminoto bernama Oetoesan Hindia. Ia menggunakan nama samaran ‘Bima’, tokoh wayang yang sangat ia idolakan sejak kanak-kanak.

Tak hanya itu, Bung Karno tercatat aktif sebagai anggota dewan redaksi ‘Bendera Islam’, sebuah surat kabar yang kemudian hari berganti nama menjadi ‘Fadjar Asia’. Koran yang terbit tiga kali seminggu itu memiliki tagline ‘Melawan Imperliasme Barat! Berjuang untuk Kebebasan Bangsa dan Tanah Air’. Ini menjadi tagline revolusioner untuk menggugah semangat nasionalisme bangsa melalui dunia pers.

Ketika menjadi seorang mahasiswa di Technische Hoogeschoole atau sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB), Sang Putra Fajar juga mendirikan kelompok studi bernama Algemene Studie Club. Dari sinilah ini menerbitkan majalah terkenal bernama ‘Soeloeh Moeda Indonesia’ tepatnya di tahun 1926.

Di tahun yang sama, ia pernah mengukir karya tulis yang sangat fenomenal berjudul ‘Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme’. Tulisan itu seolah menjadi puncak pemikiran Bung Karno yang mencoba untuk mengambil intisari masing-masing ideologi serta menarik benang merah untuk dijadikan semangat berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.

Setahun setelahnya, yakni 1927, Bung Karno kemudian membuat koran yang diberi nama ‘Persatuan Indonesia’ persis seperti Sila Ketiga Pancasila yang diperjuangkannya mati-matian. Koran itu bahkan pernah menjadi sumber informasi resmi dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang memiliki tujuan sebagai alat perjuangan Partai.

Karena koran itulah kemudian Bung Karno diasingkan oleh kolonial. Kemudian, ia kembali membuat koran bernama ‘Fikiran Rak’jat’ yang terbit pada 15 Juli 1932. Karena sangat keras menentang kolonialisme dan imperialisme, ia pun kemudian dijebloskan lagi ke dalam penjara.

Tapi, semangat Sang Singa Podium itu tak pernah pudar untuk menyuarakan pikirannya, termasuk melalui dunia pers. Pengasingan bahkan menjadi saksi bagaimana ia menghasilkan karya otentik dan kuat yang diberi judul ‘Indonesia Menggugat’.

Tentu bukanlah hal mudah, Bung Karno menulis karya itu di Lapas Banceuy, Bandung. Ia menulisnya di dalam sel berukuran 2×3 meter. Ia membubuhkan tintanya di atas toilet, menutup lubang kakus dengan kaleng makanan. Isi karyanya berupa pledoi yang akan ia sampaikan di depan majelis kehakiman kolonial yang saat itu berupaya membuang pengaruh politik Bung Karno.

Kini, di tanggal 9 Februari 2024, rakyat Indonesia tengah memperingati Hari Pers Nasional, sebuah momentum untuk merefleksikan kembali bagaimana kekuatan pers untuk mendukung kemerdekaan bangsa Indonesia seutuhnya.

Di era yang semakin liberal dan mengatasnamakan kebebasan menyatakan pendapat, maka insan pers memiliki tantangan untuk tetap objektif. Pers adalah sebuah obor yang mampu menerangi orang sekeliling dengan cahaya informasi.

“Jangan sampai Saudara-saudara mengeluarkan satu perkataan pun dari tetesan pena Saudara yang tidak berisi satu kebenaran. Oleh karena tiap-tiap tetesan pena Saudara dipercayai oleh pembaca. Tanggung jawab Saudara adalah tinggi sekali. Karena itu saya peringatkan, awas jangan sampai tulisan Saudara sebetulnya adalah fitnah,” pesan Bung Karno dalam sebuah acara bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Istana Bogor, 20 November 1965.

Tim Editor

4 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here