
Pilkada DKI Jakarta 2017 ibarat medan pertempuran yang dalam kisah Mahabarata terjadi di Kurusetra. Enam Srikandi Pandu Juang terlibat dalam kerasnya laga Pilkada yang didominasi isu SARA itu. inilah kisah para perempuan Pandu Juang mengarungi kerasnya kontestasi pemilihan gubernur DKI Jakarta.

Berkali-kali diterjunkan DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah ke arena Pilkada, Sulistyorini merasa tugas Pilkada Jakarta 2017 sebagai yang paling berat. Apalagi Rini, panggilannya, ditugaskan sebagai Pandu Juang di Kelurahan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Wilayah ini terkenal sebagai basis ormas radikal pendukung pasangan lawan. “Berkali-kali kegiatan kami dihalau ormas-ormas itu,” ungkap Rini yang menjabat pengurus BSPN DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah. Sayangnya langkah perempuan kelahiran Grobogan itu tidak didukung maksimal pengurus ranting dan anak ranting PDI Perjuangan setempat gara-gara dualisme kepengurusan.

Di Kelurahan Utan Panjang, Jakarta Pusat, Maria Tri Mangesti menghadapi persoalan sama. Pandu Juang Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jateng ini terganggu kinerjanya akibat ketidakharmonisan antar-pengurus PDI Perjuangan setempat.
Sedangkan langkah Kristiani di Kemayoran, Jakarta Pusat lancar-lancar saja. Ia fokus merebut pemilih swing voter yang masih ragu-ragu memilih Ahok–Djarot.

Pandu Juang yang juga Anggota DPRD Jateng, Endrianingsih Yunita melawan isu SARA dengan pengajian keliling di kelurahan Halim, Jakarta Timur. “Masyarakat Halim Perdana Kusuma takut untuk menentukan pilihannya dalam Pilkada DKI terkait dengan berita atau isu agama yang berkembang,” ungkapnya. Anggota Badan Diklat (BADIKLAT) DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah itu rajin blusukan untuk mengembalikan keberanian warga sekaligus meluncurkankan program kampanye.
Dari blusukan itulah Endrianingsih menemukan Siti Maryah (68) yang harus diamputasi kakinya akibat dibiarkan tanpa perawatan setelah kecelakaan kendaraan yang menimpanya beberapa tahun silam. Ia segera membawa nenek miskin itu ke rumah sakit untuk operasi amputasi.
Isu SARA yang keras menggempur wilayah penugasan Lina Hartini di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Pada putaran pertama, perempuan berhijab ini fokus menghidupkan kembali posko-posko ranting yang telah lama mati karena ketakutan terhadap isu-isu SARA.

Lina bercerita kegiatan bazaar sembako murahnya hendak dibubarkan oleh ormas radikal pendukung pasangan calon lawan. Namun Lina bergeming. Ia menyuruh semua timnya untuk tetap tenang dan melanjutkan kegiatan bazar sembako. “Kalau kita berani, mereka juga mundur, kok,” jelas anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Blora ini.
Bila Lina direpotkan ulah pendukung lawan, Pandu Juang Dyah Ratna Harimurti justru pusing gara-gara ulah para Relawan pendukung Ahok – Djarot di Pegadungan, Jakarta Barat.

Detty, nama panggilan Dyah Ratna Harimurti, berkisah pengalamannya menjelang hari pencoblosan 19 April 2017. Berbeda dengan putaran pertama, urusan saksi pada pencoblosan putaran kedua tidak ditangani DPC PDI Perjuangan tapi diambil alih Relawan. “Padahal yang memiliki jajaran sampai anak ranting / RW adalah Struktural PDI Perjuangan,” ujar anggota DPRD Kota Semarang tersebut.
Akibatnya bisa ditebak: “Bukannya tambah rapi malah jadi ruwet,” ungkap Detty. Pada hari H pencoblosan, para Relawan yang menjadi saksi datang terlambat karena bukan warga setempat. “Mereka baru datang jam 12 siang, padahal saksi kubu lawan sejak jam 7 pagi sudah di TPS,” ujar Detty kesal.
FITO A. ERLANGGA