Reformasi Budaya

0

Semua lika-liku kehidupan diatur oleh budaya. Budaya pula yang membedakan cara pikir seseorang, tingkah laku, dan tentunya sikap dan sifat. Begitupula kita sebagai orang Jawa memiliki adat yang berbeda dengan orang di Kalimantan atau dengan di Sumatera, Sulawesi, apalagi Papua.

Jujur, aku bukan orang yang peduli terhadap budaya dan nilai seni. Banyak hal abstrak—kita sebut imajinasi—yang berhasil disampaikan oleh tangan-tangan seniman terkenal. Namun, sedikit sekali kemungkinan aku untuk menggubrisnya apalagi hanya mengintip. Mungkin karena aku lahir di tengah-tengah modernisasi?

Itulah mengapa sewaktu aku menonton film tentang perjalanan. Di mana salah satu adegannya karakter beristirahat di suatu kota yang tengah melaksanakan perayaan besar di sana. Aku bertanya dalam hati, “apakah hanya di film saja semua perayaan besar itu dirayakan dan diramaikan oleh anak-anak muda?”

Ironis, tragis, apalagi kalimat yang dapat mendeskrepsikan keadaanku kali ini? Benar-benar, penulis yang tidak kenal betul dengan tema yang dia bawakan adalah bencana. Namun, anak muda yang tidak kenal dengan budayanya lebih bencana lagi. Bagaimana kita membangun Indonesia dengan nilai-nilai kebudayaannya kalua saja anak-anak mudanya tidak mengenal baik budaya.

Tetapi, belakangan ini ada berita mengherankan di mana anak kecil sangat pandai dalam susunan irama gendhing pada waktu dia bermain dalang-dalangan. Siapapun pasti akan tertawa kecil mengingat bagaimana anak yang masih berumur 7 tahun itu memarahi ayahnya yang salah memainkan alat musik.

Itu berarti akan ada kemungkinan, tunggu itu kurang bagus, pasti budaya lokal bisa bangkit kembali. Entah kapan, mungkin 10 tahun lagi? 24 tahun lagi? Menunggu hingga dalang-dalang cilik ini tumbuh menjadi pria yang sehebat Ki Seno Slank? Mungkin saja.

Ayolah, jangan mencoreng arti dari pemuda!

Pemuda itu selalu di depan dan bertindak lebih awal, lalu mengakhiri semua permasalahan dengan cekatan.  Lantas lewat tangan siapa Indonesia ini merdeka kalau bukan dari pemuda juga? 

Bahayanya untuk abad ini adalah di mana para pemuda lebih menekankan sebuah budaya yang gaul ketimbang budaya yang nilainya lebih konvensional. Sebutlah saja celana jean yang masih bagus ia beli, sampai di rumah dirobek-robek bagian tertentu. Itu antara dia yang kebanyakan uang atau memang rumahnya perlu gombal.

Semoga saja itu hanya beberapa karena pop-culture yang tidak baik itu sama sekali tidak mencerminkan negara Indonesia. Terus, apa budaya atau kultur yang mencerminkan Indonesia?

Budaya konvensional mungkin tidak semuanya dapat dikatakan sebagai jalan keluar dari masalah ini. Karena terkadang ada adat yang diluar nalar. Tetapi, nilai yang terkandung dari adat itulah yang bisa disebut budaya Indonesia. Selanjutnya nilai kebudayaan tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari yang penjelasannya sebagai berikut.

Jadi tidak harus langsung skala besar, “grup pemuda-pemudi asal Solo ini tampil membawakan Tari Gambyong pada pertunjukkan jalanan di Australia,” tidak, itu hanya akan membekas seminggu, dua minggu, selanjutnya sudah tergeser oleh berita lain yang lebih mencenangkan. 

Kita mulai dari mengenakan batik ketika keluar rumah alih-alih mengenakan pakaian bermerk. Dari sinilah maka akan timbul kecintaan. Di sini kecintaan dulu baru nanti menjadi sebuah kebiasaan, semakin terbiasa dan orang lain menilainya sebagai sebuah kekaguman. Dia yang merasa sebagai orang yang kurang mencintai budaya lokal akan tergerak hatinya. Menyebar terus menyebar, hingga kebudayaan kembali pada posisi seharusnya. 

Begitulah dan seperti orang bijak bilang, “hal baik sekecil mungkin tetapi jika ditempuh dengan tekun, dilalui terus-menerus tak kenal lelah, suatu saat nanti akan menjadi sebuah kebiasaan baik, kebiasaan baik ini akan bermanfaat bagi orang lain pula”, namun, pertanyaan kembali kepada, Siap tidak kita memulai perubahan ini? Mari kita mulai reformasi budaya!

Penulis: Abdul Latif

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here