Kota Semarang – Fatmawati, adalah sosok tangguh yang tentu akan selalu memberi motivasi dan pandangan jauh kedepan, kala belajar mencintai bangsa Indonesia. Sehingga pada 5 Februari 2021 ini merupakan momen tepat untuk mengulas sosok perempuan tangguh pendamping Sang Proklamator Ir. Soekarno itu.
Memulai dengan mengenal adalah alternatif kita memahami secara terarah bagaimana sosok perempuan tangguh itu. Perempuan yang akrab disapa Ibu Fat itu lahir di Bengkulu pada 5 Februari 1923, tepatnya pada sekitar pukul 12.00 siang, dari pasangan Hasan Din dan Chadijah.
Kelahiran yang sederhana ini disambut riang gembira oleh orang tuanya, hingga pada momen tersebut kedua orang tuanya telah menyiapkan dua nama, yaitu Siti Jubaidah yang diambil dari salah satu nama istri Nabi Muhammad SAW dan Fatmawati yang berarti Bunga Teratai.
Keunikan yang selanjutnya terjadi adalah pada proses penetapan antara dua nama itu. Pasalnya, berdasar ide kreatif dari orang tuanya, pemilihan nama tersebut dilakukan dengan menulis kedua nama itu di dua carik kertas, untuk selanjutnya digulung dan diundi. Setelah itu hasil yang muncul adalah Fatmawati, nama indah nan anggun yang hingga saat ini kita kenal.
Fatmawati tumbuh berkembang dengan kondisi keluarga yang terbilang sederhana, dimana sang ayah bekerja sebagai pegawai perusahaan “Borsumij” dan ibunya merupakan ibu rumah tangga. Selain itu, Fatmawati dikelilingi oleh suasana keluarga dengan nilai-nilai keislaman kuat. Tiap sore Fatmawati menimba ilmu Al-Qur’an (ngaji) dari sang kakek, yakni Datuk Basaruddin.
Dirangkum dari berbagai sumber menjelaskan, bahwa Hasan (ayahnya) pernah didatangi oleh Ahli Nujum yang meramalkan Fatmawati kelak akan dipinang oleh seseorang yang memiliki kedudukan tinggi. Namun pada saat itu jelas, seluruh anggota keluarga menolak ramalan itu. Terlebih dengan latar belakangnya sebagai santri dan disesuaikan keadaan pada saat itu, jelas ketika berbicara ‘seseorang dengan kedudukan tinggi’ pasti akan merujuk pada pejabat Belanda.
Selang beberapa waktu, akibat semakin memanasnya situasi politik saat itu, akhirnya ketika berusia enam tahun (1930), Fatmawati terpaksa dipindahkan ke HIS Muhammadiyah dari pendidikan sebelumnya di Sekolah Gedang (sekolah rakyat). Akibat pindah sekolah, dia harus menempuh jarak enam kilometer dari rumahnya. Setiap pagi, dia akan menumpang mobil Jeep pengangkut balok es, sedangkan pulangnya dia berjalan kaki dengan teman-temannya menerabas terik matahari dengan suka-cita.
Tidak seperti dulu, akibat perpindahannya ini ayahnya terpaksa kehilangan pekerjaan lamanya dan memulai dengan membuka usaha percetakan. Tidak jarang, Fatmawati bahkan juga membantu menjajakan kacang bawang, atau sesekali menunggui warung di depan rumahnya.
Karena usahanya kurang lancar, Fatmawati beserta keluarganya terpaksa harus pindah lagi ke Curup; daerah antara Lubuk Linggau dengan Bengkulu. Karena ditengah impitan ekonomi, keluarga kecil ini harus berdagang sayur untuk menyambung hidup dan Fatmawati terpaksa putus sekolah.
Meski demikian, Fatmawati merupakan sosok yang tabah dan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Fatmawati tidak pernah mengeluh dengan diskriminasi kolonial yang merugikan keluarganya. Bahkan, ketika ayahnya diinterogasi oleh Belanda karena menjadi penyelenggara Kongres Besar Muhammadiyah, Fatmawati tetap tegar dan banyak belajar dari proses itu.
Akhirnya, melalui pengalaman ayahnya itu, sedikit demi sedikit jiwa perlawanan muncul dalam benak Fatmawati. Sehingga puncak daripada gejolak perlawanan kepada kolonial itu Fatmawati salurkan kala mendampingi Sang Proklamator Ir. Soekarno sebagai bagian dari tulang rusuknya.
Penulis: Hana