Kabupaten Banyumas – Wayang kulit merupakan produk budaya asli yang dimiliki Indonesia dan sampai saat ini keberadaanya masih dipertahankan. Namun dalam kelangsungan perjalanannya wayang kulit mengalami perubahan baik bentuk maupun penikmat.
Memasuki era digital dan modernisasi seperti ini, eksistensi wayang kulit cukup memprihatinkan. Bagi anak muda, pastinya sedikit saja yang mau menikmati dan melestarikannya. Hal ini karena anak muda jaman sekarang lebih suka budaya asing dan condong menjauh dari budaya tradisional.
Berangakat dari keresahan itu, Andhika Pratama memilih jalan untuk melestarikan budaya Jawa itu. Sejak kecil, Andika sudah memiliki ketertarikan soal wayang kulit. Ini ditandai saat dibangku sekolah menengah pertama, ia sudah sedikit belajar mendalang dari gurunya.
“Semenjak SMP saya sering main kerumah bapak guru SMP yang merupakan seorang dalang, namanya Ki Dwi Setiabudi yang kediamannya di Desa Pejogol Kec. Cilongok. Dari sini saya mengenal lebih jauh soal wayang dan bagaimana manjadi seorang dalang,” kata Andhika yang merupakan Kader Komunitas Juang Banyumas.
Untuk memperdalam dalam mendalang wayang, KJ Andhika mengambil pendidikan di ISI Surakarta. Dari sini, ia mulai ciamik dalam menggerakkan wayang kulit dan memilih kata saat pentas. “Sehingga sampai saya menempuh pendidikan di ISI Surakarta,” ujarnya.
Dalam pentas mendalang, KJ Andhika menggunakan bahasa Jawa Kawi dalam pembawaannya. Sehingga, sebagian besar pesan yang disampaikan hanya masuk di telinga orang-orang tua.
Dengan itu, dirinya berinisiatif mengubah pembawaan itu, atas motivasi dari pagelaran wayang kulit yang dibawakan oleh Dalang Ki Enthus Susmono dari segi pola pikir, sanggit dan garap lakon serta tatanan pakeliran.
“Saya cenderung mengiblat ke beliau karena pembawaan dan mampu mengolah suasana, tapi pembawaan klasik seperti Ki Purboasmoro, juga saya suka dan Ki Kukuh Bayu Aji dari Banyumas, atas lincah dan gebyagannya membawakan gerakan wayang, dari pedalangan Jawa Timur juga saya pelajari. Dari kesemua itu saya rangkum menjadi satu menjadi karya saya sendiri,” imbuhnya.
Sebagai mahasiswa ISI Surakarta yang menggeluti bidang seni dan pedalangan, Adhika dalam mengekspresikan pagelaran wayang kulit bertujuan untuk melestarikan budaya adiluhung warisan nenek moyang di Indonesia.
“Saya merasa terpanggil untuk menguri-uri budaya Jawa ini. Dengan keinginan saya mempopulerkan wayang di Banyumas yang khas dengan pembawaan bahasa Jawa Ngapak dikolaborasikan dengan karya-karya saya sendiri, saya harap digemari anak-anak muda,” tutur Andhika.
Putra dari pasangan Satgas Juang dengan Kader Komunitas Juang (KJ) angkatan pertama yakni Bejo Sulilo dan KJ Isdiati, Andhika memiliki kesadaran yang mendalam soal melestarikan budaya. Apalagi Bung Karno mengamatkan tentang Trisakti yang salah satunya tentang ‘berkepribadian dalam kebudayaan’.
“Sudah menjadi tekad saya sebagai putra bangsa untuk melestarikan budaya, apalagi saya lahir dari keluarga PDI Perjuangan,” jelasnya.
Sejauh ini, Andhika sudah manggung 5 kali pentas online dan diatas panggung. Terakhir ia ikut memeriahkan acara peresmian Desa Wisata Tamansari di ajang KCF (Kamandaka Ciptarasa Festival), pada tanggal 20 November 2022 lalu dengan mengangkat lakon ‘Wisanggeni Krida’.
Koresponden: Aim