“Manungsa mung ngunduh wohing pakarti” adalah kata bijak dari masyarakat suku Jawa, yang artinya “kehidupan manusia baik dan buruk adalah akibat dari perbuatan manusia itu sendiri.” Suku Jawa adalah salah satu suku besar di Indonesia, yang memiliki banyak sekali nilai luhur dalam ajaran sukunya. Setiap suku di Indonesia memiliki budaya luhur masing-masing yang wajib untuk dilestarikan. Adat istiadat, wawasan, mitologi, norma adat dan lain sebagainya, merupakan suatu kearifan lokal yang mengandung banyak filosofi, dan nilai luhur yang akhirnya di definisikan sebagai kekayaan suatu daerah yang mengajarkan cara bertindak yang tepat dalam menjalani kehidupan setiap manusia untuk menjadi lebih baik lagi, dengan menghargai sesama dan berdampingan selaras dengan alam yang ada.
Kearifan lokal tidak muncul begitu saja, karena merupakan suatu strategi di dalam kehidupan masyarakat yang terwujud dalam aktivitas masyarakat disuatu tempat dan sebagai jawaban atas berbagai permasalahan yang ada di dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu, harus di implementasikan dalam setiap pembelajaran disekolah. Dikenalkan mulai dari tingkat sekolah dasar untuk Generasi-Z atau Gen-Z, dan menjadi langkah awal untuk membentuk generasi yang berkarakter. Karena Gen-Z lah yang akan memegang peranan penting di bangsa ini dalam bonus demografi di tahun 2045.
Jika sudah di kenalkan sejak dini, harapannya Gen-Z dapat memahami akar budaya atau sejarah bangsanya. Adat istiadat, norma, dan tradisi yang ada di masyarakat, akan bermanfaat dan berfungsi secara efektif dalam membangun pendidikan yang membentuk karakter. Di era keterbukaan seperti sekarang ini, revolusi industri 4.0, Gen-Z harus mampu menghadapi setiap permasalahannya. Pemaknaan kembali pewarisan nilai-nilai budaya, merupakan jalan yang tepat untuk melawan pengaruh negatif globalisasi, dan modernisasi. Kearifan lokallah yang berperan penting dalam membentengi dan senantiasa mengingatkan akan jati diri mereka, bahwa kebudayaan mereka jauh lebih luhur nilai atau maknanya dibandingkan budaya asing yang masuk secara masif melalui media yang ada, juga agar tidak terpengaruh dampak negatif. dari perkembangan revolusi industri 4.0 tersebut, di mana banyak budaya asing yang masuk dan mempengaruhi pola perilaku dan cara pandang mereka.
Makna nilai dalam sebuah kearifan lokal seperti tatanan bahasa daerah contohnya, menyiratkan kebiasaan yang terjadi dalam sebuah tatanan masyarakat yang mencerminkan nilai keluhuran, kebijakan dan kesederhanaan di daerah tersebut. Harus diwariskan kepada generasi selanjutnya, sebagai suatu nilai luhur untuk membentuk karakter sebuah masyarakat lokal di suatu daerah, hingga menjadi sebuah identitas lokal. Pewarisan nilai ini sebagai pembentuk kepribadian yang berkarakter melalui falsafah lokal adalah langkah sederhana yang dampaknya luar biasa bagi suatu bangsa dan tidak boleh diremehkan. Falsafah tentang kebudayaan kita bukan lagi satu tujuan tersendiri atau hanya bersifat teoritis, melainkan suatu cara untuk menyediakan sarana-sarana yang dapat membantu kita memaparkan suatu strategi kebudayaan untuk hari depan.Falsafah lokal harus diarahkan pada penataan pola pikir dengan benar, salah satunya di bidang pendidikan tersebut.
Sebagai contoh menumbuhkan kerjasama antar siswa, gotong royong, musyawarah mufakat, dan persaingan hanya sebatas berlomba, bukan suatu eksklusifisme yang mengakibatkan regangnya kerukunan sosial. Rasa saling membantu harus ditanamkan sejak dini sebagai identitas nasional dan suatu bentuk kebersamaan dalam esensi kekeluargaan dengan menghormati satu dengan yang lainnya. Dalam pemahaman primsip kebersamaan dan kerja sama, kita dapat lebih mengamati adanya primordialisme yang memperoleh makna baru di antara masyarakat kita.
Primordialisme ini dapat kita lihat pula dalam mitologi dan permainan daerah suku-suku di Indonesia. Berbagai mitos yang masih ada di zaman modern ini adalah hasil karya leluhur yang sarat akan makna yang masih dapat kita temui seperti karya pujangga dan sastrawan Jawa berupa pakem pedalangan (pedoman cerita wayang), dongeng rakyat, babad dan legenda. Harus kita gaungkan lagi dengan cara yang lebih relevan pada zaman ini, misalnya bekerjasama dengan pihak tertentu atau melakukan sayembara, menciptakan suatu animasi untuk cerita rakyat, dapat pula dibuat sayambara aplikasi game untuk permainan tradisional, sehingga motologi sebagai akar kebudayaan kita tidak akan hilang tergantikan dengan budaya asing yang belum tentu sarat akan makna dan nilai kehidupan yang mendalam.
Karena fungsi mitologi kita adalah menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib yaitu Tuhan, di luar nalar manusia dan berhubungan pada masa kini. Sebagai contoh, dari mitos yang ada lalumuncul tarian dan upacara adat pada saat panen raya. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas panen raya di desa tersebut. Mengajarkan kembali tarian daerah, lalu di setiap objek wisata di bangsa ini diwajibkan untuk melakukan proses transaksi dengan menggunakan bahasa daerah, tentu hanya di objek wisata saja, karena berdasarkan sumpah pemuda, kita di persatukan oleh bahasa yang satu yaitu bahasa Indonesia.
Tentang animasi dongeng, cerita rakyat, dapat pula dimasukankedalam kurikulum pendidikan sebagai syarat lulus dalam ujian sekolah, dengan cara menonton animasi lalu membuat soal tanya jawab atas animasi cerita rakyat tersebut. Jadi bukan lagi hanya berupa tulisan di dalam buku yang tidak menarik untuk di pelajari, tetapi berganti cara yang lebih relevanseperti sekarang ini yang semuanya sudah menggunakan sistem online. Dampak positifnya, masyarakat luas tidak lagi lupa akan akar budayanya, jadi misalnya ada masyarakatSemarang yang berwisata ke Manado, akan tahu bahasa Manado, jika dalam proses bertransaksinya menggunakan bahasa daerah, begitu pula wisatawan asing.
Jadi kebudayaan dapat terjaga, dan bangsa Indonesia juga dapat dibangun karakternya melalui budaya di setiap daerah. Tidak lagi bangga akan tayangan budaya asing, tetapi bangga akan budaya suku bangsa sendiri.Mempelajari budaya asing itu wajib, tetapi lebih wajib lagi jika tidak melupakan akar budaya bangsa sendiri. Jika dikemas secara baik dan selaras mengikuti modernisasi zaman, tentu dengan tidak merubah esensi atau nilai luhur yang ada di dalamnya, pastilah kebudayaan kita jauh lebih mempunyai nilai-nilai luhur atau paling tidak dapat dibanggakan pula dalam pergaulan internasional dan masyarakat khususnya anak muda juga tidak malu mempelajarinya, karena sudah dikemas secara relevan mengikuti perkembangan zaman yang ada.
Penulis: Daud Mahagni