Kota Semarang – Pada Tahun 1963, Presiden RI pertama, Bung Karno berpidato, menekankan pentingnya mengembalikan kesadaran akan identitas Indonesia sebagai ‘negara samudera’. Pidatonya berjudul ‘Kembalilah Menjadi Bangsa Samudera’ menjadi landasan filosofis penting bagi masa depan bangsa Indonesia.
Visi ini kemudian diperkuat dengan penetapan 23 September sebagai Hari Maritim Nasional melalui Keputusan Presiden No. 249 Tahun 1964. Visi ideologis maritim Bung Karno adalah membangun Indonesia sebagai negara maritim yang kuat dan berdaulat.
Kebijakan ini mengembalikan kesadaran bangsa akan identitasnya sebagai ‘bangsa samudera’ setelah berabad-abad dikuasai oleh bangsa penjajah yang berorientasi daratan.
Tiga hal penting dalam penerjemahan visi maritim itu; pertama, Kesatuan Wilayah (Wawasan Nusantara). Bung Karno menyadari bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia harus memiliki kedaulatan penuh atas laut yang menghubungkan pulau-pulaunya.
Visi ini diwujudkan melalui Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Deklarasi ini menjadi tonggak sejarah yang menyatakan bahwa laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia adalah satu kesatuan wilayah yang utuh.
Sebelum deklarasi ini, laut di antara pulau-pulau dianggap sebagai perairan internasional, yang memisahkan satu pulau dengan pulau lainnya.
Pengakuan internasional terhadap deklarasi ini, meskipun baru tercapai melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) pada tahun 1982, adalah hasil dari perjuangan diplomasi yang tak kenal lelah pada masa Bung Karno.
Deklarasi ini menjadi fondasi bagi konsep Wawasan Nusantara, di mana wilayah laut dan darat dipandang sebagai satu kesatuan geopolitik, bukan pemisah.
Kedua, sebagai jalan mewujudkan kedaulatan dan Kekuatan, Bung Karno percaya bahwa kekuataan maritim adalah kunci menjaga kedaulatan bangsa. Untuk menguatkan visi ini, ia mendorong pembangunan angkatan laut yang kuat.
Pada masa itu, Indonesia memiliki salah satu armada angkatan laut terkuat di Asia. Hal ini menunjukkan bahwa Bung Karno tidak hanya berteori, tetapi juga berinvestasi dalam kekuatan militer maritim untuk mempertahankan kedaulatan negara.
Ketiga, dalam mewujudkan Indonesia yang adil dan Makmur, Bung Karno sadar betul Indonesia memiliki potensi alam yang sangat berlimpah, termasuk kekayaan laut dan segala keragaman hayatinya.
Maka dari itu, ia mendorong pembangunan infrastruktur perikanan, seperti pelabuhan dan pabrik pengolahan ikan, serta lembaga-lembaga pendidikan untuk mencetak sumber daya manusia yang ahli di bidang kelautan.
Kebijakan Strategis/Teknis yang Dilakukan Bung Karno
Bung Karno juga berperan penting dalam merumuskan kebijakan strategis mulai dari hulu dan hilir dalam sektor kelautan dan perikanan.Terdapat beberapa langkah penting yang dilakukan Bung Karno, seperti; pembangunan infrastruktur fisik, kelembagaan, pendidikan.
Pembangunan infrastruktur fisik yaitu dengan melakukan perbaikan pelabuhan dan prasarana, mendorong perbaikan pelabuhan-pelabuhan kecil, dan pengerukan muara sungai untuk memfasilitasi aktivitas nelayan.
Kemudian, Bung Karno-pun menaruh perhatian terhadap pembangunan fasilitas produksi. Bung Karnomengarahkan pembangunan tempat pendaratan ikan, tempat pengeringan ikan, dan pabrik pengolahan ikan untuk meningkatkan nilai tambah hasil tangkapan nelayan.
Hal itu masih ditambah denganpenyediaan sarana produksi. Kebijakan pada masa itu juga mencakup upaya untuk mengatur pengadaan kayu dengan harga murah bagi nelayan untuk pembuatan perahu.
Mengingat zaman semakin modern, Bung Karno kemudian turut melakukan Pembangunan Industri Maritim. Ia mencanangkan pembangunan galangan kapal, seperti yang terjadi di Cilincing, Tanjung Priok, pada tahun 1965.
Sementara untuk memperkuat gagasan besar maritim, Bung Karno mendorong kebijakan pendukung, seperti dukungan ekonomi dimana pemerintah menyediakan pinjaman tanpa bunga melalui bank khusus nelayan pribumi.
Pemerintah juga melakukan pengaturan perdagangan. Pada tahun 1961, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk tidak lagi memberikan izin impor ikan dari negara-negara tetangga seperti Vietnam Selatan, Siam, dan Malaysia. Tujuannya untuk melindungi produk perikanan dalam negeri.
Selanjutnya adalah pembentukan organisasi dan lembaga. Bung Karno menyadari perlunya organisasi penelitian ilmiah di bidang perikanan dan pembentukan lembaga-lembaga yang menaungi sektor ini.
Pada masa Kabinet Kerja IV (1963-1964), bahkan dibentuk Departemen Perikanan Darat-Laut, yang kemudian berkembang menjadi Departemen Perikanan dan Pengolahan Laut di bawah Kompartemen Maritim.
Bung Karno adalah sosok yang sangat menaruh kepedulian terhadap wong cilik. Ia meminta supaya pemerintah melindungi nelayan. Bagi Bung Karno, nelayan adalah orang yang sangat sabar, “manusia yang paling sabar menanti datangnya ikan ke kail.”
Kebijakan-kebijakan yang ada bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, meskipun menghadapi tantangan dari sistem ekonomi yang sudah ada seperti praktik ijin.
Sementara itu pada, sektor pendidikan bidang perikanan, Bung Karno menyadari bahwa untuk mengelola kekayaan laut Indonesia, diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terampil dan berpengetahuan luas.
Salah satu warisan paling signifikan dari era Bung Karno di bidang pendidikan perikanan adalah pendirian Akademi Usaha Perikanan (AUP) pada 7 September 1962 di Jakarta. AUP didirikan untuk mencetak tenaga ahli yang kompeten di bidang perikanan. Lembaga ini menjadi perguruan tinggi vokasi perikanan tertua di Indonesia.
Menjadikan Indonesia sebaga negara maritim bukan hanya slogan semata, namun berlandasakan pada kondisi objektif, sehingga visi ideologis dapat diterjemahkan dalam rencana kerja strategis.
Begitulah cara Bung Karno membangun Indonesia dari sektor maritim yang harus menjadi api semangat dalam situasi hari ini, khususnya dalam menyongsong masa depan negeri yang lebih baik.
Penulis : Fuad
https://shorturl.fm/Xc10J