
Kota Semarang – Peringatan Bulan Bung Karno Tahun 2025 yang diselenggarakan oleh DPD PDI Perjuangan Jateng menjadi sangat meriah dan menarik tatkala dibarengi dengan sarasehan kebangsaan.
Acara tersebut diselenggarakan di Aula Panti Marhaen, Kota Semarang dengan dihadiri oleh jajaran pengurus DPD Partai, pengurus DPC Partai dari 35 kabupaten/kota se-Jateng, aktivis pergerakan, dan tokoh masyarakat lainnya, Sabtu (28/06/2025).
Mengangkat tema ‘Merekonstruksi Pemahaman Pancasila dalam Perspektif Pidato 1 Juni 1945’, DPD Partai Jateng bertekad memberi wawasan dan pengetahuan kepada peserta acara dengan narasumber-narasumber ternama, yakni;
- Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S (Hakim Mahkamah Konstitusi)
- Prof. Dr. Suharnomo, S.E., M.Si (Rektor Undip)
- Yudi Latif, M.A., Ph.D (Cendekiawan dan Peneliti)

Berkesempatan menjadi pembicara pertama, Arief Hidayat menerangkan bahwa Bung Karno yang berhasil menggali Pancasila dari Bumi Nusantara menempatkan nilai ketuhanan dalam praktik-praktik hukum.
Tapi dalam perjalanannya, hukum seringkali tidak berjalan sebagai sarana untuk menegakkan keadilan bagi rakyat. Hal ini menurutnya menjadi PR besar yang harus segera diselesaikan.
“Kata Bung Karno, ada suatu zaman yang memunculkan Kabir atau Kapitalisme Birokrat. Inilah yang menyebabkan kekayaan tidak menetes ke bawah untuk rakyat. Bung Karno menegaskan bahwa sebenarnya yang harus dilakukan adalah national and character building, karena kita ingin menjadi bangsa yang merdeka, tidak bermental inlander,” paparnya.
Sebagai penggali Pancasila dan mencetuskan istilah Pancasila untuk pertama kalinya di Sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Yudi Latif memandang jika Putra Sang Fajar adalah tokoh bangsa yang sangat jenius.

Ia mengutip pemikiran Albert Einstein dan Leonardo Davinci bahwa kejeniusan sesungguhnya adalah bagaimana kemampuan seseorang untuk menyederhanakan sesuatu yang sangat kompleks.
Hal tersebut ada di dalam diri Bung Karno. Yudi Latif mengatakan bahwa Bung Karno mampu menyederhanakan kompleksitas sosial, budaya, politik, dan aspek lainnya di Indonesia melalui lima dasar yang statis, tapi tetap bertahan dan adaptif di era actual.
“Beliau (Bung Karno) mampu merumuskan dasar negara yang kompleks menjadi 5 dasar. Jika tidak setuju dengan 5, maka bisa diperas lagi menjadi 3. Apabila 3 masih terlalu banyak, maka bisa menjadi 1, yaitu gotong royong,” tuturnya.
“Bung Karno bisa menyelam ke dalam kehidupan masyarakat dan bisa menangkap sesuatu yang paling genering, yaitu gotong royong,” lanjutnya.
Sementara itu, Suharnomo menandaskan, bahwa Pancasila tidak boleh hanya dijadikan sebagai jargon belaka, melainkan juga harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak boleh dasar negara tersebut hanya dikapitalisasi untuk kepentingan kekuasaan.
“Karena sejatinya leadership is action, not position. Problem kita hari ini adalah kurangnya contoh tindakan, terutama dari para elit,” jelasnya.
Tak lupa, ia berpesan kepada seluruh peserta agar turut andil dalam pembangunan bangsa. Urusan tersebut menurutnya menjadi tanggung jawab bersama, bukan sekadar tanggung jawab pemerintah.
“Kita punya potensi untuk menerapkan apa yang diucapkan Bung Karno. Kita harus membangun Prakarsa secara mandiri. Kita bangsa pejuang, kita bisa buat sesuatu untuk rakyat dan masyarakat,” pungkasnya.
Tim Editor
This gave me a whole new perspective. Thanks for opening my eyes.
I’ll be sharing this with a few friends.
I enjoyed your perspective on this topic. Looking forward to more content.
This is now one of my favorite blog posts on this subject.
Your tips are practical and easy to apply. Thanks a lot!
Thanks for addressing this topic—it’s so important.
This gave me a whole new perspective. Thanks for opening my eyes.
This helped clarify a lot of questions I had.
This topic is usually confusing, but you made it simple to understand.
Your breakdown of the topic is so well thought out.
I like how you presented both sides of the argument fairly.