Kota Semarang – Tidak banyak yang mengetahui, bahwa Founding Fathers Indonesia Bung Karno adalah sosok yang sepanjang hidupnya tidak pernah terlepas dari dunia literasi. Sejak ia kecil, masa remaja, menjadi tokoh pergerakan, hingga menjadi pemimpin bangsa, kecintaannya pada literasi tidak pernah pupus. Baginya, literasi adalah cakrawala luas perajut asa dan menggapai kesejahteraan sejati.
Jejak awal literasi Bung Karno dimulai dari seorang ibunya, yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Ibunda Bung Karno sering mendongeng tentang kepahlawanan leluhurnya melawan penjajah Belanda. Melalui hal kecil itu, perlahan kecintaannya terhadap dunia seni baca, tulis, dan kajian menjadi salah satu tarikan nafas yang tak dapat terpisahkan dari hidupnya.
“Ibu selalu menceritakan kisah-kisah kepahlawanan, kalau Ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk di dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah-kisah yang menarik tentang pejuang-pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami,” kata Bung Karno dalam buku biografinya yang berjudul ”Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams (1965).”
Selain memperoleh literasi dari sang Ibu, Soekarno kecil juga mendapatkan pembelajaran membaca dan menulis dari Sang Ayah, Raden Soekemi Sosrodiharjo. Sebagai guru, Soekemi selalu menyempatkan diri untuk mendidik Soekarno di rumahnya. Sang Ayah adalah guru yang keras, dan selalu mengajari membaca dan menulis tanpa kenal lelah walau berjam-jam lamanya.
Lebih lanjut, Bung Karno pernah bercerita dalam biografinya, ”seluruh waktuku kugunakan untuk membaca, sementara yang lain bermain-main, aku belajar, aku mengejar ilmu pengetahuan di samping pelajaran sekolah,” Cindy Adams (1965).
Kecintaan Bung Karno pada dunia literasi semakin kuat tatkala Ia mulai mengenyam pendidikan di Hoogere Burger School (HBS) Surabaya pada tahun 1916. Terlebih saat Ia diperkenalkan sang Ayah kepada sosok H.O.S. Tjokroaminoto, seorang pemimpin organisasi pergerakan Sarikat Islam. Bahkan sang Ayah menitipkannya untuk tinggal di Rumah Tjokroaminoto selama Ia belajar di HBS Surabaya.
Berawal dari Tjokroaminoto inilah Bung Karno mengenal sosok Semaoen, Kartosoewiryo, Alimin, Muso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis yang kelak menjadi tokoh-tokoh pergerakan nasional. Pada awal-awal di Surabaya, bukanlah hal yang mudah baginya. Bung Karno menghadapi persoalan diskriminasi dan kemiskinan, hingga membuat dirinya tampak selalu murung.
Namun, melalui semangat juang dalam hidupnya, di saat situasi sulit itulah, Bung Karno justru mengalihkan dirinya pada buku-buku. Ia pun banyak menghabiskan waktunya membaca di Perpustakaan Perkumpulan Teosofi di Kota Surabaya. Ragam jenis buku ia pelajari, baik tentang politik, sejarah, ekonomi, budaya, agama, filsafat, ideologi, sosial, sastra, dan lainnya, semua dilahap habis.
Melalui pijakan awal itu, pengembaraannya pada dunia pemikiran dan gagasan-gagasan besar tokoh dunia dimulai dari sini. Bung Karno mulai membaca gagasan-gagasan akbar tokoh-tokoh Dunia Barat, baik Presiden Amerika Serikat seperti Thomas Jefferson, George Washington, dan Abraham Lincoln; Perdana Menteri Liberal Gladstone, suami-istri sosialis Sydney dan Beatrice Webb dari Inggris; para Bapak Unifikasi Italia seperti Mazzini, Cavour, dan Garibaldi; tokoh-tokoh kiri Eropa seperti Otto Bauer, Max Adler, Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin; juga para negarawan dari negeri menara Eiffel, yakni Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand, Voltaire, Georges Danton, dan Jean Jaures (orator terbesar dalam sejarah Perancis).
Tidak berhenti di situ, gagasan-gagasan dari ahli-ahli pikir Dunia Timur juga tak Ia lewatkan. Dijelaskan, bahwa berbicara Dunia Timur, Bung Karno begitu mengagumi buah pikir Mahatma Gandhi, Jose Rizal, Sun Yat Sen, Must, dan lain-lain. Semua itu dilahap di akhir masa pubertas dan di bawah berbagai himpitan dinamika sosial yang masih saja mendera, (Rahadian, 2018).
Kecintaannya pada literasi kemudian menghasilkan buah mahakarya yang diungkapkan dalam sebuah testimoni di dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat”. Kata Bung Karno, “Buku-buku menjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh kompensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan keputus-asaan yang terdapat di luar. Dalam dunia kerohanian dan dunia yang lebih kekal inilah aku mencari kesenanganku. Dan di dalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira”.
Hingga Bung Karno menjadi tokoh pergerakan nasional, Ia tidak pernah lepas dari ragam jenis buku. Setelah menamatkan pendidikan tekniknya di ITB Bandung pada tahun 1926, dan sejak perjumpaannya dengan Dowes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo, Bung Karno sudah mulai terjun ke dunia politik. Kiprah politik Bung Karno dimulai tatkala mendirikan Algeme Studie Club tahun 1926, yang kemudian menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI).
Penulis : Hana
I’m very appreciated, because this article is very educated