Kabupaten Temanggung – Simbol ‘Dewi Keadilan’ sangatlah dekat dengan aktivitas hukum serta kehidupan politik sebuah negara. Dewi Keadilan ini dalam filsafat Yunani Kuno merupakan perwujudan dari Dewi Themis, seorang dewi yang memiliki tugas untuk menafsirkan kehendak para dewa.
Perwujudan Dewi Keadilan ini juga sarat akan makna. Matanya tertutup, yang berarti hukum itu tidak boleh pandang bulu terhadap siapapun. Timbangan yang imbang di tangan kiri, berarti hukum itu tidak boleh memihak. Seluruh aktivitas dalam bidang hukum harus ditimbang terlebih dahulu secara inklusif untuk kemudian menghasilkan sebuah putusan.
Tangan kanan Dewi Keadilan yang memegang pedang ke bawah bukan memiliki makna hermeneutic jika hukum itu tajam ke bawah. Arti sesungguhnya, pedang hanya akan digunakan sebagai sarana terakhir untuk menjatuhi hukuman, bukan sebagai langkah pencegahan. Sedangkan makna perempuan (Dewi Themis) berarti hukum itu harus punya sifat memelihara nurani kemanusiaan.
Diakui ataupun tidak, nampaknya makna Dewi Keadilan itu juga terinternalisasi dalam diri Sang Proklamator, Bung Karno. Ia memandang bahwa aktivitas politik maupun hakekat hukum harus diorientasikan untuk mewujudkan keadilan bagi rakyat.
Pada masa pemerintahan kolonial, Bung Karno memperjuangkan keadilan rakyat itu dengan aktivitas politiknya. Bahkan, ia pun harus berhadapan dengan hukum dengan tuduhan membuat sebuah gerakan untuk menggulingkan pemerintahan Belanda. Bung Karno juga sangat memahami bahwa realitas hukum kolonial tidak menggambarkan sosok Dewi Themis, karena sudah pasti dijadikan alat untuk membungkam siapapun yang memiliki pandangan politik berbeda.
Dari hal itulah, kemudian Bung Karno melahirkan sebudah pledoi yang terkenal, yaitu Indonesia Menggugat. Sebuah pidato pembelaan Bung Karno di hadapan hukum kolonial, yang kemudian melahirkan simpati banyak rakyat untuk ikut berjuang meraih kemerdekaan sekaligus memperoleh keadilan yang hakiki.
Tak sampai di situ saja, kisah keadilan dalam diri Bung Karno juga terefleksikan dari cerita ketika terjadi pemberontakan kelompok sayap kanan. Kartosoewirjo adalah teman akrab dari Bung Karno, yang pernah sama-sama menimba ilmu di Surabaya bersama dengan HOS Tjokroaminoto. Bung Karno, Kartosoewirjo, dan teman-teman yang lain juga memiliki mimpi yang sama untuk menata masa depan bangsa Indonesia menjadi lebih baik, bisa berdiri di atas kakinya sendiri.
Setelah Indonesia merdeka, Bung Karno yang sangat nasionalis diuji dengan kekuatan sahabatnya yang berada di sayap kanan. 1962, sahabat dari Sang Singa Podium itu akhirnya harus dijatuhi pidana mati oleh Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) setelah ditangkap oleh Yonif Linud 328 dengan masalah pemberontakan.
Bung Karno menangis tersedu ketika harus menandatangani surat keputusan hukuman mati bagi sahabatnya. Bisa saja Bung Karno yang ketika itu menjabat sebagai presiden membebaskan sahabatnya. Akan tetapi, Bung Karno menyadari bahwa ada kredo fiat justitia et pereat mundus, hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh.
Bung Karno dalam konteks ini juga menjadi salah satu perwujudan dari Dewi Themis, memberikan keadilan sebagaimana mestinya. Bung Karno tidak pandang bulu, sekalipun Kartosoewirjo adalah sahabat karibnya ketika muda. Bung Karno pun menandatangani keputusan Mahadper dengan pertimbangan yang inklusif dan berimbang, bahwa pemberontakan merupakan masalah serius yang tidak boleh dibiarkan, karena bisa merusak persatuan bangsa Indonesia.
Penulis: Enggar Adi W
buy rybelsus http://rybelsus.tech/# Rybelsus 7mg
buy semaglutide online