Bung Karno dan Metafora Rotan yang Melengkung

1
Bung Karno
Foto: Proklamator Bangsa dan Presiden RI Pertama, Bung Karno

Kota Semarang – Optimisme selalu hidup dalam diri Sang Proklamator, Bung Karno apapun kondisinya. Ketika menghadapi sebuah tantangan, bahkan kegagalan, Bung Karno selalu menekankan bahwa tidak ada satu pun perjuangan yang sia-sia, no sacrifice is wasted.

Misalnya ketika Bung Karno dikudeta kepemimpinan nasionalnya secara halus. Maklumat X yang diumumkan pada 16 Oktober 1945 menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berubah fungsi dari badan yang membantu tugas presiden menjadi badan legislasi atau parlemen.

Setelahnya, pada November 1945, Ketua KNIP, Sutan Sjahrir kemudian ditunjuk menjadi perdana menteri dan diberi kewenangan untuk membentuk kabinet parlementer. Jelas konsep ini sesungguhnya telah merubah sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Akibatnya, Bung Karno tidak lagi menjadi kepala pemerintahan, ia hanya menjadi kepala negara saja.

Sebagai orang pada umumnya, tentu kita bisa membayangkan bagaimana perasaan dari Bung Karno. Tetapi, Bung Karno adalah sosok negarawan sejati, ia tetap mendukung kabinet parlementer yang dipimpin Sutan Sjahrir. Sang Putra Fajar telah berdamai dengan realita, bahwasannya apapun kondisi yang dialami, kepentingan nasional dan persatuan bangsa harus selalu diutamakan.

Catatan sejarah mengungkap, dalam percakapan dengan Ahmad Subardjo, Bung Karno hanya mengatakan, “Seperti rotan, saya hanya melengkung, tidak patah”. Kejadian di atas tidak mematahkan asa Bung Karno untuk mendedikasikan diri bagi Tanah Air dan Bangsa. Walaupun sistem pemerintahan dikendalikan penuh oleh kabinet parlementer, faktanya kecintaan rakyat terhadap Bung Karno tetap besar.

Bukan kayu yang ditekan patah, tapi rotan yang ditekuk malah melenting, Bung Karno kemudian menebus kekalahan kontestasi politik nasional itu sebelas tahun kemudian. Lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem parlementer itu akhirnya berakhir, karena memang tidak sesuai dengan culture bangsa yang mengedepankan gotong royong dan persatuan nasional.

Kisah itu jelas memberikan pelajaran, bahwa setiap orang mesti punya optimistime dalam hidup. Ketika mengalami kegagalan dan kekalahan, menyalahkan keadaan bukanlah jalan keluar. Kondisi yang tidak menguntungkan haruslah dijadikan motivasi untuk melenting ke atas, menambah daya dobrak hingga sebuah tujuan bisa tergapai.

Tim Editor

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here