Solusi Grengseng Pamuji

0
Grengseng berfoto di lahan cabai bersama petani anggota Gabungan Kelompok Tani di Kabupaten Magelang. (Foto: Johan Ies Wahyudi)

Apakah tugas utama dan terutama seorang kader Partai? Pertanyaan itu kerap menggelayut di benak Grengseng Pamuji. Sebagai kader Partai berlatar belakang aktivis GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), lelaki yang saat ini memikul amanah sebagai Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kabupaten Magelang ini, Grengseng kemudian menemukan jawaban atas pertanyaan itu dari salah seorang seniornya. “Tugas utama seorang kader Partai adalah memperkuat tenaga kaum marhaen. Prinsip ini yang digariskan oleh Bung Karno,” kata Grengseng, yang saat ini ditugasi Partai sebagai Sekretaris DPC Kabupaten Magelang.

Grengseng Pamuji

Sejak muda, Grengseng dikenal sebagai anak muda yang punya keberanian untuk membela kepentingan warga, meneruskan jejak almarhum ayahnya. Karena itu, ketika ia memutuskan untuk berkiprah di Partai, Grengseng sudah punya akar yang cukup di bawah di tingkat akar rumput. “Saya ingat pesan Bapak, jadilah kader yang bisa menjadi pelindung bagi rakyat cilik, wong marhaen,” kenang Grengseng.

Dari hasil pemetaan lapangan di wilayah tempat ia tinggal, Grengsengmenyimpulkan bahwa wilayah Grabag, Secang, dan sekitarnya memiliki potensi besar sebagai wilayah agribisnis. Salah satu komoditas yang punya nilai jual bagus untuk dikembangkan adalah: cabai. Namun, Grengseng juga menemukan fakta bahwa para petani tidak memiliki nilai tawar yang cukup untuk berhadapan dengan sistem tata niaga cabai, yang dikuasai para pedagang besar (baca: tengkulak).

Kekuasaan, bagi alumnus Fakultas Peternakan UGM ini, adalah alat perjuangan untuk memperkuat tenaga kaum marhaen. Maka ketika Grengseng terpilih sebagai Anggota Legislatif DPRD Kabupaten Magelang, kekuasaan dan ruang politik yang ia miliki digunakan seoptimal mungkin untuk berguna bagi warga Magelang, khususnya para petani cabai.

Tata Niaga Cabai Tata Niaga Cabai

Bukan rahasia umum bahwa tata niaga komoditas pertanian saat ini sebagian besar dikuasai oleh jaringan pedagang, yang kerap disebut tengkulak. Harga komoditas (termasuk cabai) pun ditentukan oleh dinamika yang disetir oleh mereka. Tapi ya itu, naik turunnya harga cabai bisa seperti roaller coaster. Pada suatu kurun waktu, harga cabai bisa melonjak hingga Rp 115 ribu per kilogram, tapi pada kurun waktu lain bisa terjun bebas sehingga menjadi Rp 20 ribu per kilogram. “Lha, harga yang ndak stabil ini yang membuat petani merasa tidak aman untuk setia nandur lombok. Nasib petani di tangan tengkulak. Sediih…..,” ungkap Anwari, 43 tahun, Kepala Desa Lebak, Grabag. Petani pasrah, tak berdaya untuk melawan sistem tata niaga yang sudah bertahun-tahun dikendalikan oleh para ndoro tengkulak.

Sebagai kader Partai, sekaligus selaku anggota legislatif, Grengseng kerap ditemui para pentolan petani cabai. “Isine yo mung keluh kesah, petani minta solusi,” cerita Anwari. Meski petani punya lahan sendiri tetapi mulai dari pengadaan bibit hingga harga beli hasil panen seluruhnya diatur tengkulak. “Kami selama ini pasrah, ndak bisa melawan,” kenang Slamet Rohman, 40 tahun, petani sekaligus Ketua Gapoktan Desa Lebak.

Dari pertemuan-pertemuan informal itu, Grengseng tergugah. “Piye-piye, poro petani kuwi wong cilik. Mereka itu Marhaen. Kudu dibelani tapi ya jangan sampai rusuh. Sistem harus ditempuri dengan sistem. Prinsipnya, win-win solution. Jangan sampai ada pihak yang merasa terluka. Bagaimanapun, tengkulak juga punya peran penting. Tinggal disinergikan saja kepentingan petani dan kepentingan tengkulak,” ungkap Grengseng kepada Derap Juang menjelaskan sikap dan fikirannya dalam mencoba menjawab aspirasi para petani cabai.

Pada awal tahun 2015 sebuah langkah awal dilakukan. Berbekal legitimasi lapangan dan legalitas formal sebagai Anggota DPRD Kabupaten Magelang Fraksi PDI Perjuangan, Grengseng mencoba melakukan konsolidasi para aktor di lapangan, yang bisa menjadi bagian dari solusi. Beberapa kepala desa dan tokoh tani Magelang yang ia datangi sepakat untuk bergerak. Grengseng juga mendapat dukungan dari para koordinator dan fasilitator kawasan sentra cabai, yang bekerja untuk Kementerian Pertanian. Muara dari konsolidasi pihak-pihak itu ialah pembentukan Gabungan Kelompok Tani atau gapoktan, untuk mewadahi para petani lombok di dua kecamatan: Grabag dan Secang.

Grengseng Pamuji saat meninjau lahan cabai. (Foto: Johan Ies Wahyudi)

Strategi Distribusi Satu Pintu

Sebagai pengamal ajaran Bung Karno, Grengseng pernah membaca tentang amanat Bung Karno tentang siapa pejuang marhaenis. “Saya ingat pernah membaca petuah beliau Bung Karno bahwa kaum marhaenis adalah setiap pejuang dan patriot, yang mengorganisir kaum Marhaen yang tertindas. Bersama-sama mereka menumbangkan sistem yang menindas; bersama-sama tenaga massa marhaein untuk membanting tulang membangun masyarakat yang kuat, bahagia, sentosa, adil dan makmur. Kaum Marhaen akan kuat karena bersatu, bersatu karena kuat,” ujar Grengseng menyimpulkan sebuah petuah Bung Karno. Intinya, dibutuhkan persatuan dan gotong royong untuk mengubah nasib petani cabai.

Atas dasar analisis terhadap peta lapangan, bersama para inisiator gapoktan dan para koordinator sentra cabai, sistem distribusi cabai satu pintu mulai diterapkan. Jika selama ini para petani mendatangi tengkulak untuk menjual hasil panen cabai mereka, dengan harga pasrah mengikuti ketetapan tengkulak maka dengan sistem baru tersebut gapoktan ‘memaksa’ secara perlahan tengkulak yang datang kepada petani untuk membeli hasil panen dengan sistem lelang.

Panen cabai melimpah, hasil petani binaan anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) di Kecamatan Grabag dan Secang Kabupaten Magelang. (Foto: Johan Ies Wahyudi)

Dengan sistem baru tersebut, para petani anggota gapoktan sepakat untuk ‘nekat’ tidak membawa hasil panen mereka ke gudang-gudang tengkulak. Mereka membuka pos-pos pengumpul hasil panen cabai. Gerakan ini tentu mendapat respon balik dari para tengkulak. Alhasil, pada masa-masa awal, sempat terjadi tarik ulur antara pihak tengkulak dan gapoktan. “Tengkulaknya ya gengsi dan sempat boikot, di awal-awal mereka ndak mau membeli dengan sistem yang kami terapkan,” kenang Slamet Rohman.

Boikot ala tengkulak tersebut bahkan pernah sempat sampai kepada puncaknya. Mereka sepakat untuk mem-black list para petani dan sama sekali tidak mau membeli hasil panen para petani yang terlibat dengan sistem tata niaga baru tersebut. Wajar jika para tengkulak memboikot karena sistem tersebut dianggap merugikan mereka. “Mereka tidak senang karena keuntungan mereka jauh berkurang dengan sistem yang kami terapkan. Namun kami teguh, kami tidak goyah,” tambah Slamet Rohman. Untuk menghindari hasil panen tak terjual akibat pemboikotan tengkulak, para anggota gapoktan bergotong royong menyewa kendaraan angkut untuk membawa hasil panen mereka langsung ke pasar-pasar dan bertransaksi langsung dengan para pedagang eceran di pasar-pasar. Berkait keteguhan para anggota gapoktan, para tengkulak akhirnya bersedia melakukan negosiasi. Nah, dalam proses negosiasi inilah Grengseng selaku patron ideologis para petani punya peran penting. “Melalui proses negosiasi dan diplomasi yang mengenakkan semua pihak, akhirnya para tengkulak bersedia mengikuti aturan main gapoktan. Tentu saja secara bertahap,” ungkap Grengseng.

Diawali dari satu desa, kemudian diikuti oleh lima desa lain, saat ini sistem distribusi dan lelang satu pintu ini sudah diterapkan oleh gapoktan di 20 desa. Sistem yang diterapkan pun mulai mengakomodir kepentingan pedagang cabai dan kondisi tata niaga di desa-desa tersebut. “Saat ini ada dua sistem yang diterapkan: sistem lelang terbuka dan sistem lelang tertutup. Setiap desa dipersilakan untuk menggunakan sistem pilihan mereka. Lelang terbuka boleh, lelang tertutup juga boleh,” jelas Grengseng.

Petani saat memanen cabai. (foto: Istimewa)

Dalam sistem lelang terbuka, calon pembeli memberikan penawaran secara terbuka didepan forum lelang, disaksikan panitia dan para peserta lelang lain. Siapa yang menjadi penawar tertinggi maka ia yang berhak untuk membeli hasil panen anggota gapoktan. Dalam system lelang tertutup, penawaran calon pembeli dituliskan ke dalam secarik kertas yang dimasukkan ke dalam amplop tertutup. Calon pembeli yang menulis harga tertinggilah yang berhak untuk melakukan pembelian hasil panen. “Dengan cara ini, para petani lebih punya nilai tawar. Dengan sendirinya mereka paham bahwa yang berjuang untuk mereka adalah PDI Perjuangan. Insya Allah, di wilayah-wilayah yang sudah tergarap itu simpati dan suara Partai akan naik pada pemilu yang akan datang,” jelas Grengseng.

Kesuksesan Grengseng Pamuji bersama para petani gapoktan dalam memperjuangkan system tata niaga cabai, yang pada akhirnya memperkuat posisi tawar kaum Marhaen petani cabai dan meningkatkan kesejahteraan mereka, tak lepas dari dukungan elemen jaringan birokrasi sektor pertanian. Melalui lobi fraksi PDI Perjuangan, di tingkat Kabupaten sampai Pusat, para anggota gapoktan binaan Grengseng menerima dukungan dalam bentuk bibit, pupuk, alat produksi, dan obat-obatan anti hama.

Grengseng Berfoto di lahan tani binaan. (Foto: Johan Ies Wahyudi)

Selain para aktor dari Dinas Pertanian Kabupaten Magelang, Tunov Mondro Atmodjo dan Nanang Heru Prasetya adalah dua nama aktor lapangan yang menjadi mitra penting Grengseng dalam menjalankan misi penguatan gapoktan cabai di wilayah Grabag dan Secang. Tunov, sebagai pendamping para petani, punya peran dalam penyaluran bantuan dari Kementerian Pertanian untuk para petani cabai di Grabag dan Secang. Tunov juga memfasilitasi sistem asuransi bagi para petani cabai. “Jika selama ini asuransi hortikultura hanya menjamin dampak bencana alam atau serangan hama, mulai tahun depan dampak dari fluktuasi harga akan masuk ke dalam daftar yang ikut ditanggung,” jelas Tunov.

“Bunga mawar tidak mempropagandakan harum semerbaknya, dengan sendirinya harum semerbaknya itu tersebar di sekelilingnya,” kata Bung Karno pada suatu ketika. Dinamika kejuangan Grengseng Pamuji dan kawan-kawan tadi adalah sebuah contoh baik tentang bagaimana hendaknya kekuatan kader Partai digerakkan untuk memperkuat tenaga massa Marhaen. Tanpa perlu banyak retorika, Grengseng dengan keputusan-keputusan taktis di lapangan, konsistensi, pengorbanan, dan keteladanan para aktor patron lainnya, terbukti telah meraup simpati rakyat Marhaen, terutama para petani cabai di dua wilayah kecamatan yang ia bina. Ibarat bunga mawar dalam ilustrasi Bung Karno tadi, Partai akan harum wanginya apabila para kader inspiratifnya menebarkan wangi di tengah-tengah rakyat. Merdeka….!!!

SOFWAN ARDYANTO

LAPORAN: FITO AKHMAD ERLANGGA, WISNU PRATAMA,

HARISNU TRI HASNOWO, TEGUH WAHONO.