Pandangan bahwa pemuda merupakan kaum apatis terhadap politik harus dihindari. Pasalnya, stigma ini bisa memicu sentimen secara struktural dalam dinamika politik.
Pada 2018, Alvaro Research Center memang mengeluarkan hasil survei yang menyatakan milenial (agak) cuek pada politik. Hanya 22% yang menyukai pemberitaan politik, sisanya hobi pada hal lain yang bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari. Studi ini akhirnya kerap dijadikan sandaran untuk memvonis pemuda sebagai komunitas yang tak acuh.
Ada dua hal yang membuat stigma ini haram dilanggengkan. Pertama, riset Alvaro hanya menyoal milenial atau generasi Y (1977-1995), tidak meliputi komponen generasi lain yang punya masa depan lebih panjang, yakni generasi Z (1996-2010). Padahal, berdasarkan riset Tirto.id pada 2017, gen Z ingin membawa perubahan, menghargai keberagaman, dan senang berbagi. Jika menilik riset lain semisal buku Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial Indonesia (2018) yang diterbitkan KemenPPPA dan BPS, milenial juga sesungguhnya berkarakteristik kreatif, inovatif, punya passion, terbuka pada pandangan politik dan ekonomi, dan reaktif pada fenomena sekitar.
Kedua, hanya dengan melihat media sosial, kita bisa melihat pemuda peduli pada fenomena politik. Mereka merespons dinamika, mulai dari tingkat mikro (desa-kabupaten) hingga makro (provinsi-nasional), dengan banyak rupa: demonstrasi di jalan, bercuit di media sosial, dan diskusi-diskusi informal maupun formal.
Drone Emprit merekam pergerakan ini, misalnya, kala pemuda terutama mahasiswa memprotes banyak hal pada 2019 dengan tajuk #ReformasiDikorupsi. Ada banyak gelombang demonstrasi di tanah air, entah di jalan maupun media sosial, dan saya rasa ini cukup untuk menunjukkan pemuda punya prospek tinggi dalam politik.
Pelurusan ini perlu agar proses politik kita menempatkan pemuda dalam posisi esensial sejak dari pikiran, tidak terjebak pada stigma. Dalam konteks politik pembangunan Jawa Tengah, pemuda punya peran penting untuk menjadi pelopor dan eksekutor pembangunan yang tepat untuk ke depannya, yakni pembangunan yang terbuka, progresif, dan berpihak.
Digitalisasi Berbagai Lini
Tirto.id mencatat beberapa karakteristik generasi Z; mereka berpikiran terbuka, hemat, menyukai kampanye yang kekinian, menghendaki perubahan sosial, sanggup berkompromi, dan asyik dengan teknologi. Dalam riset KemenPPPA dan BPS, kurang lebih ciri milenial sama: dekat dengan media dan teknologi, kreatif, inovatif, dan produktif. Milenial dan gen Z adalah kaum yang sekarang disebut sebagai “pemuda”. Dari berbagai ciri tersebut, salah satu yang paling menonjol hari-hari ini adalah kedekatan dengan teknologi (digital).
Karakter ini penting untuk dijadikan nyawa pembangunan di Jawa Tengah ke depan. Sejauh ini, banyak hal adminsitratif yang belum menerapkan digitalisasi sebagai teknologi mutakhir dengan baik. Sebagai contoh: KTP elektronik belum digunakan secara maksimal. Ketika kita hendak mengurus sesuatu di banyak institusi, para pekerja masih meminta salinan (fotocopy). Padahal, KTP elektronik telah memilik chip yang bisa dipindai. Selain mengurangi penggunaan kertas, hal ini juga membuat aktivitas lebih efektif.
Dalam skala yang lebih besar, digitalisasi juga mampu membuat jalannya pemerintahan lebih terbuka dan transparan. Apakah sekarang kita bisa melihat progres pembangunan dan berbagai program secara real time melalui kanal-kanal tertentu? Belum.
Di tingkat desa sebagai unit terkecil, pemerintah desa masih menggunakan banner atau baliho yang ditampilkan di jalan utama. Media tersebut umumnya memuat penggunaan dana desa dalam setahun, tetapi tentu saja jumlah informasinya amat minim. Warga tidak akan tahu pihak mana yang memegang proyek jalan, berapa jumlahnya, dan tingkat kertercapaian pelbagai program.
Kondisi ini akan berbeda apabila semuanya diperbarui di situs desa yang bisa diakses siapa pun, mulai dari preprogram, di tengah program, hingga pascaprogram (pertanggungjawaban). Masalah-masalah tentang laporan pasti juga bisa dipangkas dengan baik.
Digitalisasi adalah hal yang mutlak. Untuk ke sana, kita memerlukan beberapa langkah seperti pemerataan internet, pengelolaan sumber daya manusia, dan pelibatan pemuda sebagai agen yang esensial, bukan hanya sebagai simbol.
Keberpihakan yang Jelas
Karakter penting lain dari pemuda adalah perhatian dan keinginan atas perubahan sosial. Artinya, berbagai pembangunan di Jawa Tengah harus progresif dan berpihak. Keberpihakan tersebut mesti jelas, terutama pada kaum kecil yang tidak memiliki kekuatan kecuali secara struktural dibersamai pemerintah selaku pemegang otoritas.
Berdasarkan rilis BPS Jateng pada Januari 2021, jumlah milenial dan gen Z saat ini berkisar pada 50,24% dari total penduduk, atau sekitar 18,34 juta orang. Ini angka yang potensial untuk mendongkrak perubahan wajah masyarakat. Energi kreativitas, inovasi, dan produktivitas pemuda bisa disalurkan untuk mendesain program-program yang efektif sehingga membawa masyarakat lebih maju.
Saat membuat start-up, misalnya, orientasinya terletak pada pembangunan UMKM, rekrutmen pekerja, dan keseimbangan alam. Kesadaran ini membuat kemajuan teknologi tidak membunuh (sebagian) manusia dengan merebut pekerjaannya, melainkan menciptakan alternatif baru. Dengan begini, politik pembangunan di Jawa Tengah akan menciptakan keadilan sosial untuk semua.
Pemuda, sekali lagi memegang kunci penting. Kita mungkin tak bisa melakukan ini secara spontan. Namun, dengan kerja sama dari berbagai pihak, kemaslahatan bersama bukanlah hal mustahil.
Penulis: Ahmad Abu Rifai