Kabupaten Kebumen- Kader PDI Perjuangan tak akan pernah lupa atas peristiwa berdarah di Kantor DPP Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat pada Sabtu, 27 Juli 1996 pagi. Peristiwa dimana barisan pendukung Megawati Soekarnoputri menjadi simbol perlawanan terhadap kekuatan rezim orde baru.
Peristiwa yang dikenal ‘Kudatuli’ itu bahkan disebut sebagai salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi di Indonesia. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) atas peristiwa tersebut, terdapat 5 orang tewas, 149 orang luka-luka, dan 23 orang hilang.
Pemerintah pada saat itu merestui pucuk pimpinan dijabat Soerjadi berdasar kongres tandingan yang digelar di Medan pada 1996. Sementara, kepemimpinan Megawati tidak diakui keabsahannya meskipun diraih secara aklamasi.
Dukungan pemerintah tercermin dari kehadiran Menteri dalam Negeri Yogie S Memet yang membuka dan menutup kongres PDI Soerjadi. Dukungan juga muncul dari Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid.
Pemerintah mengakui kepengurusan hasil Kongres Medan, sedangkan dukungan terhadap kubu Megawati justru mengalir deras dari luar pemerintah khususnya pendukung militan Pro Megawati, sebelum akhirnya berujung kerusuhan berdarah.
Menurut Ketua DPC PDI Perjuangan Kebumen, Saiful Hadi ketika mengulas kembali kepingan sejarah pada era orde baru, ditemukan fakta bahwa perilaku demokrasi khususnya menyangkut peristiwa ‘Kudatuli’ tak terlepas adanya kontrol kekuatan elite dengan cara menindas dan membungkam suara rakyat.
“Kalau kembali ke belakang, kita tahu tragedi Kudatuli merupakan preseden buruk bagi demokrasi di tanah air. Berapa nyawa melayang dan dinyatakan hilang hanya demi kekuasaan,” kata dia, Rabu (27/7/2022).
Ia menegaskan, peristiwa berdarah itu juga tidak terlepas dari upaya rezim orde baru untuk berusaha mengintervensi terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai PDI nahkoda waktu itu. Bergabungnya Megawati dinilai membuat resah banyak pihak, termasuk pemerintah yang dipimpin Soeharto.
“Peristiwa kudatuli adalah catatan memperjuangkan hak-hak demokrasi. Bahwa bangsa ini pernah mengalami serangkaian peristiwa yang tidak pernah kami lupakan,” katanya.
Kala itu, lanjut Saiful, keluarga Soekarno menjadi korban ambisi rezim orde baru. Upaya de-Soekarno-isasi dilakukan dengan membatasi pergerakan putra-putri Soekarno, terutama dalam ranah politik.
“Kami tidak ingin mencederai perjuangan Pro Mega yang telah gugur sebagai simbol perlawanan kepada rezim. Tetes perjuangan mereka hingga partai berdiri tegak akan kami kenang direlung hati,” imbuhnya.
Koresponden : Red