Kota Surakarta – Eks Walikota Surakarta yang juga merupakan sosok Ketua DPC PDI Perjuangan FX Hadi Rudyatmo mengabdikan dirinya sebagai Prodiakon di Gereja Katholik lebih dari 15 tahun hingga saat ini. Tidak hanya itu, FX Rudy juga mengabdikan dirinya sebagai pemateri di sekolah-sekolah bukan hanya di Surakarta, melainkan hingga ke luar kota.
Terbaru, FX Rudy diundang sebagai pemateri di Gereja Santo Agustinus yang berada di Kabupaten Sukoharjo dalam acara ‘Orang Muda Katholik’ yang di ikuti oleh mahasiswa dan Orang Muda Katholik se-Solo Raya, Jumat (14/4/2023).
Pada kesempatan itu, lagu kebangsaan Indonesia Raya 3 stanza dikumandangkan sebelum memberikan materi yang tujuannya adalah untuk mengenalkan kepada milenial tentang lagu pemersatu bangsa tersebut.

“Lagu Indonesia Raya itu menurut saya sangatlah sakral, karena dikarang jauh sebelum negara Indonesia merdeka. Liriknya dalam, seolah-olah W.R. Soepratman telah hidup di tahun 1945, karena terdapat lirik Di Sanalah Aku Berdiri, padahal lagu tersebut dikarang pada tahun 1924 dan beliau meninggal pada 17 Agustus 1938 di usia 35 tahun. Jadi, menurut saya, ini sangatlah luar biasa dan di stanza 2 dan 3 terdapat banyak sekali doa-doa yang diharapkan agar Bangsa Indonesia subur dan selamat di segala aspek,” tuturnya.
Kepada para generasi muda, FX Rudy memaparkan materi yang bertajuk ‘Menjadi Pemimpin dan Agen Perubahan’. Pihaknya juga menjelaskan sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin.
“Bilamana suatu saat kalian pemuda ini menjadi seorang pemimpin harus memiliki rasa malu. Bukan malu sebagai pemimpin, melainkan malu apabila berbuat maksiat, terlibat skandal, melakukan korupsi, kolusi, dan nipotisme,” terangnya.
“Malu bilamana tidak bisa memenuhi janji kepada rakyat. Rasa malu merupakan bagian dari iman dan menjadi salah satu tiang akhlak mulia. Apabila pemimpin tidak memiliki rasa malu, maka rusak pula akhlaknya. Pemimpin adalah pelayan, bukan penguasa,” lanjutnya.
Terakhir, FX Rudy berpesan kepada pemuda agar menjadi pemimpin yang punya kompetensi dan kapabilitas, menjadi agen perubahan seperti analogi sebuah akar.
“Jadilah seperti akar, ia terus berjuang mencari air, menembus tanah yang keras, bahkan bebatuan yang keras demi sebatang pohon. Ketika pohon tumbuh, ranting berdaun rindang, berbunga elok. Pohonlah yang mendapat pujian. Namun, akar tetap di bawah dan tak pernah mengeluh,” imbuhnya.
Koresponden : Nafis