Kota Semarang – Di tengah ketegangan Perang Dingin yang memuncak pada awal 1960-an, dunia olahraga tidak luput dari perpecahan ideologis. Ketika Komite Olimpiade Internasional (IOC) menolak mengakui China dan Korea Utara, serta melarang Indonesia berpartisipasi dalam Olimpiade Tokyo 1964, Presiden Sukarno mengambil langkah berani yang menggemparkan dunia: menciptakan alternatif Olimpiade sendiri.
Lahirlah GANEFO (Games of the New Emerging Forces), sebuah ajang olahraga internasional yang diselenggarakan di Jakarta pada 10-22 November 1963. Lebih dari sekadar kompetisi olahraga, GANEFO menjadi manifestasi politik dari negara-negara berkembang yang merasa terpinggirkan dalam tatanan dunia yang didominasi oleh kekuatan Barat.
Latar Belakang: Dari Asian Games hingga Boikot Olimpiade
Akar masalah GANEFO bermula dari Asian Games IV Jakarta 1962. Indonesia, sebagai tuan rumah, menolak memberikan visa kepada atlet Israel dan Taiwan atas tekanan politik domestik dan solidaritas dengan negara-negara Arab serta China. Keputusan kontroversial ini memicu kemarahan IOC yang kemudian menangguhkan Komite Olimpiade Indonesia dan melarang atlet Indonesia berpartisipasi dalam Olimpiade Tokyo 1964.
Bagi Sukarno, ini bukan hanya masalah olahraga, tetapi serangan terhadap kedaulatan Indonesia dan negara-negara berkembang. Dalam pidatonya, Sukarno menyatakan bahwa Olimpiade telah “diracuni oleh politik kolonialisme dan imperialisme”. Sebagai respons, ia mengumumkan konsep GANEFO sebagai “Olimpiade untuk negara-negara yang baru merdeka dan berkembang.”
GANEFO 1963: Pesta Olahraga dengan Jiwa Politik
GANEFO I Jakarta dihadiri oleh 2.700 atlet dari 51 negara, termasuk China, Korea Utara, Vietnam Utara, dan negara-negara Afrika yang baru merdeka. Meskipun beberapa negara Barat seperti Prancis dan Italia turut berpartisipasi, sebagian besar peserta adalah negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok atau blok komunis.
Pembukaan GANEFO berlangsung spektakuler di Stadion Utama Gelora Bung Karno dengan upacara yang menggabungkan unsur tradisional Indonesia dan semangat revolusioner. Sukarno dalam pidato pembukaannya menegaskan bahwa GANEFO adalah “olahraga dengan jiwa politik” yang bertujuan membangun solidaritas negara-negara berkembang.
Ideologi dan Dampak Politik
GANEFO tidak hanya tentang kompetisi olahraga, tetapi juga tentang perlawanan terhadap hegemoni Barat dalam dunia olahraga internasional. Konsep “New Emerging Forces” (NEFO) yang dipromosikan Sukarno mencerminkan semangat anti-imperialisme dan solidaritas Dunia Ketiga.
Namun, GANEFO juga menciptakan dilema bagi para atlet. IOC mengancam akan melarang atlet yang berpartisipasi dalam GANEFO untuk ikut serta dalam Olimpiade mendatang. Ancaman ini menjadi kenyataan ketika beberapa atlet Indonesia dan negara lain yang berpartisipasi dalam GANEFO dilarang berlaga di Olimpiade Tokyo 1964.
Warisan dan Akhir GANEFO
Meskipun GANEFO II sempat direncanakan di Kairo pada 1967, acara tersebut tidak pernah terlaksana karena berbagai faktor politik. Sehingga, GANEFO II dilaksanakan dalam skala Asia yang dilaksanakan di Kamboja. Selanjutnya, GANEFO III direncanakan digelar di China, namun batal dan dialihkan ke Korea Utara, namun tidak pernah terlaksana dan menjadi catatan sejarah.
Warisan GANEFO terletak pada upayanya menantang monopoli Barat dalam olahraga internasional dan memberikan platform bagi negara-negara berkembang untuk mengekspresikan identitas politik mereka. Meskipun berumur pendek, GANEFO membuktikan bahwa olahraga dapat menjadi alat pemersatu kepentingan politik negara-negara Non-Blok, terutama di era Perang Dingin.
Tim Editor