Kota Semarang – Desa wisata di Indonesia memiliki peluang emas untuk bangkit sebagai kekuatan ekonomi baru dengan mengusung ‘rasa percaya diri’ terhadap kearifan lokalnya. Anggota Komisi VII DPR, Samuel Wattimena, menekankan bahwa keunikan seperti makan dengan tangan atau berjalan ‘nyeker’ (tanpa alas kaki) bukanlah sebuah kekurangan, melainkan sebuah ‘gaya hidup’ otentik yang kini dicari dunia dan memiliki nilai jual tinggi.
Berbicara dalam sosialisasi di Semarang, Sabtu (15/11/2025), Samuel Wattimena mendorong pengelola desa wisata untuk berhenti bersikap ‘latah’ atau sekadar meniru tren. Kunci sukses, menurutnya, adalah memahami dan menghargai kelebihan unik yang dimiliki setiap desa.
“Mereka harus paham apa sih yang desa ini miliki,” katanya.
Ia mengingatkan agar pengelola tidak terjebak menuruti semua permintaan tamu yang berbeda-beda hingga kehilangan ciri khas.
“Tamu yang ini minta gini, tamu yang itu minta gitu, enggak boleh,” tegas Wattimena.
Ia menekankan pentingnya teguh pada identitas asli, karena orisinalitas inilah yang membedakan satu desa dengan desa lainnya.
Wattimena mengajak untuk mengubah mentalitas ‘gamang’ (minder) terhadap budaya sendiri menjadi sebuah keunggulan. Ia mencontohkan kebiasaan seperti makan dengan tangan atau berjalan ‘nyeker’ yang sering dianggap “kelas dua”. Padahal, praktik ini adalah cerminan gaya hidup yang kini justru sedang tren secara global.
“Sekarang di dunia lagi demam ‘slow living’, ‘meaningful living’. Kita dari dulu udah gitu,” ujarnya.
Ia melihat ini sebagai keunggulan kompetitif yang seringkali tidak disadari. “Persoalannya kita tidak menghargai kebiasaan kita,” katanya.
Ia mendorong agar lifestyle unik ini dipoles dan dijadikan daya tarik utama, bukan malah ditutupi karena standar modern.
Menurut Wattimena, Indonesia ‘berlimpah dengan potensi’, mulai dari mata air, hamparan sawah, hingga keragaman budaya yang tak tertandingi. Namun, ia menegaskan bahwa potensi ini hanya akan menjadi kekuatan ekonomi, jika dikelola dengan rasa percaya diri yang teguh.
Ia menekankan bahwa setiap desa wisata tidak harus sama; justru perbedaan itulah yang harus diasah. Pengelola harus fokus mengembangkan kearifan lokal sebagai ciri khas utama.
“Kita punya semuanya di negeri ini. Lifestyle kita itu sama sekali tidak menjadikan kita masyarakat kelas dua di dunia ini,” tegasnya.
Dengan menghargai keunikan sendiri, desa wisata dapat berdiri kokoh sebagai destinasi otentik yang bernilai ekonomi tinggi.
Tim Editor















