Kota Semarang – Ditengah nuansa klasik Kota Lama Semarang, tepatnya di Toko Oen yang telah menjadi saksi perjalanan sejarah panjang kota ini, anggota Komisi VIII DPR RI, Samuel Wattimena, menggelar sebuah kegiatan yang hangat dan inspiratif bertajuk “Bincang Literasi”, Sabtu (18/10/2025). M
Menghadirkan Kristin Samah ( Jurnalis Senior), Gunoto Saparie ( Satupena Jawa Tengah ) dan Maya Dewi ( Co-Founder Sangkar Wiku Book Club ) acara tidak sekadar menjadi ruang diskusi, tetapi juga menjadi panggilan untuk meneguhkan kembali makna literasi sebagai jiwa dari peradaban.
Dalam suasana yang intim dan penuh makna, Samuel Wattimena berbicara tentang pentingnya literasi bukan hanya sebagai kegiatan membaca dan menulis, tetapi sebagai bentuk kesadaran untuk memahami diri, masyarakat, dan sejarah. Ia menegaskan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menjaga ingatannya melalui literasi—karena membaca adalah cara manusia merawat masa lalu dan menyiapkan masa depan.

“Literasi bukan sekadar kemampuan membaca teks, tetapi kemampuan membaca kehidupan. Kita membaca kota ini, membaca sejarahnya, dan menulis kembali maknanya agar tidak hilang ditelan zaman,” ujar Samuel Wattimena di hadapan para peserta.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai kalangan—pegiat literasi, mahasiswa, seniman, dan pemerhati kebudayaan—yang bersama-sama menukik dalam percakapan mengenai peran literasi dalam membangun kesadaran sosial dan identitas kota. Diskusi yang mengalir di antara aroma kopi dan nostalgia bangunan kolonial itu melahirkan banyak gagasan segar, termasuk rencana Samuel untuk membuat rangkuman buku perjalanan Kota Semarang, sebuah karya yang diharapkan mampu menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan kota.
Rangkuman buku tersebut nantinya akan merekam jejak sejarah, budaya, dan dinamika sosial Semarang dalam lintasan waktu. Samuel menilai bahwa setiap kota memiliki narasinya sendiri, dan tugas masyarakat adalah menulis ulang narasi itu agar tetap hidup.
“Setiap batu di Kota Lama ini menyimpan cerita. Literasi membuat kita peka pada bisikan masa lalu dan sadar akan tanggung jawab masa depan,” tambahnya dengan nada reflektif.
Acara yang berlangsung hangat ini ditutup dengan pembacaan refleksi singkat dari peserta, menegaskan bahwa literasi bukanlah kegiatan sesaat, melainkan perjalanan panjang manusia untuk memahami makna hidup dan kebudayaan.
Melalui “Bincang Literasi” di jantung Kota Lama, Samuel Wattimena kembali mengingatkan bahwa menjaga semangat literasi berarti menjaga denyut kehidupan itu sendiri. Di antara tembok tua dan bayang lampu kuning Toko Oen, percakapan malam itu menjadi bukti bahwa kata dan cerita masih memiliki kekuatan untuk menyatukan, menyembuhkan, dan menyalakan kembali api pengetahuan di tengah zaman yang serba cepat.















